Rohis dan Ikhtiar Siapkan Generasi Religius, Visioner, dan Berwawasan Kebangsaan
Indonesia kini menghadapi paradoks generasi yang dapat disimak dari data statistik yang menunjukkan bahwa 64 persen populasi di bawah usia 40 tahun (BPS 2024), namun Indeks Kepuasan Hidup Beragama (IKHB) remaja turun dari 78,2 (2020) menjadi 71,4 (2024) menurut survei Kemenag. Di saat yang sama, konsumsi konten radikal di media sosial melonjak 41 persen dalam tiga tahun terakhir (We Are Social, 2025). Dalam pusaran ini, Rohani Islam (Rohis) bukan lagi sekadar ekstrakurikuler—melainkan infrastruktur moral terakhir yang masih bisa dijangkau negara di level sekolah menengah.
Pada upaya lain untuk mengamati Rohis, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta telah melakukan sejumlah studi yang mengungkap dinamika keagamaan di kalangan remaja, termasuk peran Rohani Islam (Rohis) sebagai wadah pendidikan karakter. Studi-studi ini menyoroti tantangan intoleransi di Generasi Z, sekaligus potensi Rohis sebagai instrumen moderasi beragama.
Studi nasional ini melibatkan survei terhadap 2.181 responden dari 34 provinsi, mencakup 1.522 siswa SMA/SMK, 337 mahasiswa, dan 264 guru PAI. Fokusnya adalah sikap keagamaan Generasi Z di sekolah dan perguruan tinggi, dengan Rohis sebagai salah satu elemen kunci dalam pendidikan agama Islam (PAI). Salah satu hasil kunci dari studi PPIM menyatakan bahwa 48,95 persen siswa merasa PAI mendorong isolasi sosial: pendidikan agama justru dianggap memengaruhi siswa untuk "tidak bergaul dengan pemeluk agama lain". Ini mencerminkan benih intoleransi yang tumbuh dari kurikulum PAI yang kurang menekankan toleransi, termasuk dalam kegiatan Rohis.
Pada dasarnya, pendidikan agama di kelas hanya menyentuh domain kognitif (pengetahuan) selama 2-3 jam seminggu. Sisanya—21 jam luang di sekolah, ditambah 35 jam di luar—dikuasai algoritma TikTok, Youtube, media sosial, game online, dan peer pressure. Rohis mengisi celah itu dengan pendekatan tiga dimensi: afektif – membangun rasa (cinta kepada Allah dan Rasulullah, empati sosial), psikomotorik – mengamalkan (salat berjamaah, puasa Senin-Kamis, bakti sosial), kognitif terapan – kajian tematik (Islam dan climate change, etika AI, ekonomi syariah).
Di tengah gempuran disrupsi digital yang membawa serta nilai-nilai sekuler dan hedonisme, Rohani Islam (Rohis) di sekolah-sekolah menjadi benteng terakhir pembentukan karakter religius siswa. Bukan sekadar ekstrakurikuler biasa, Rohis adalah laboratorium hidup bagi generasi muda untuk mengamalkan ajaran Islam secara kontekstual—moderasi beragama, toleransi, dan tanggung jawab sosial. Kongres Rohis Nasional I yang akan digelar Direktorat Pendidikan Agama Islam (PAI) Kementerian Agama pada 12-15 November 2025 di Jakarta menjadi momentum krusial untuk mengokohkan peran ini.
Rohis sebagai Wahana Pendidikan Karakter
Pendidikan agama di kelas sering kali terbatas pada aspek-aspek kognitif, semisal hafalan ayat dan hadis. Rohis melengkapi kekurangan itu dengan pendekatan afektif dan psikomotorik. Di sini, siswa tidak hanya belajar tentang agama, tetapi menghidupi agama: salat berjamaah, kajian rutin, bakti sosial, hingga aksi lingkungan berbasis Al-Qur’an. Data Kementerian Agama menunjukkan, sekolah dengan Rohis aktif memiliki tingkat kenakalan siswa 23 persen lebih rendah dibandingkan yang tidak (Survei 2024).
Namun demikian, tantangan tidak kecil dan sederhana, salah satunya adalah stigamatisasi. Stigma bahwa Rohis menjadi sarang eksklusivisme, radikalisme, dan intoleransi masih melekat di sebagian masyarakat. Faktanya, merujuk pada Panduan Pengembangan Nilai Keagamaan Islam melalui Rohis—hasil kerja sama Kemenag dan Kemendikdasmen—menegaskan moderasi beragama sebagai ruh utama. Dalam kaitan tersebut, pembinaan guru PAI dan kolaborasi dengan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) menjadi kunci menepis stigma itu.
Rohani Islam (Rohis) bukan sekadar klub doa atau kajian Jumat sore. Ia adalah laboratorium karakter hidup yang mengintegrasikan tiga domain pendidikan yang selama ini terpisah, yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik. Di tengah pendidikan formal yang semakin terfragmentasi, Rohis menjadi penanda penting masih adanya wahana holistik pembentukan generasi religius yang adaptif, toleran, dan bertanggung jawab.Rohis selayaknya wahana tiga domain dalam satu wahana. Pendidikan karakter ala Ki Hajar Dewantara—ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani—sulit direalisasikan di kelas mapel. Sebaliknya, Rohis justru menjadikannya sebagai praktik sehari-hari.
Kongres sebagai Titik Balik
Kongres Rohis Nasional I bukan sekadar ajang pemilihan ketua. Ini adalah forum strategis untuk menyusun peta jalan 2025-2027 yang adaptif terhadap era digital. Agenda seperti dakwah digital, eco-Rohis, hingga Rohispreneur menjawab kebutuhan zaman tanpa mengorbankan esensi keimanan. Yang lebih penting, kongres ini melahirkan kepemimpinan nasional yang representatif—terpilih dari musyawarah 34 provinsi—sehingga suara daerah terwakili.
Kongres Rohis Nasional I adalah titik balik struktural—momen di mana jutaan anggota Rohis dari 34 provinsi bertransformasi dari gerakan lokal menjadi kekuatan nasional terkoordinasi. Kongres ini adalah parlemen muda Islam pertama di Indonesia yang akan merumuskan blueprint karakter generasi 2045.
Tantangan dan Harapan
Tantangan terbesar tetap pada pembinaan. Banyak pembina Rohis masih merangkap tugas sebagai guru mapel, sehingga intensitas pembinaan kurang optimal. Diperlukan kebijakan afirmatif: insentif bagi pembina, pelatihan berkala, dan integrasi Rohis dalam kurikulum muatan lokal. Selain itu, kolaborasi dengan perguruan tinggi—seperti “Golden Ticket” ke UIN/IAIN bagi juara lomba atau ketua Rohis—perlu dikuatkan dan diperluas untuk menjaga kontinuitas kader.
Generasi religius bukanlah generasi yang anti-modernitas, melainkan yang mampu menjadikan agama sebagai kompas di tengah badai perubahan. Rohis, dengan dukungan negara dan masyarakat, adalah investasi jangka panjang bagi Indonesia yang rahmatan lil alamin. Kongres November nanti harus menjadi titik tolak—bukan sekadar seremoni, tetapi tonggak sejarah pembentukan karakter bangsa.
Rohani Islam (Rohis) bukan kenangan masa SMA yang hilang bersama seragam putih-abu. Ia adalah estafet obor—dari kelas X ke XI, lalu XII, lalu ke kampus, lalu ke masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan upaya kaderisasi yang matang. Tanpa kaderisasi, Rohis hanya jadi cerita lama. Sebalinya, dengan kaderisasi, ia menjadi pabrik karakter bangsa yang memproduksi ribuan calon pemimpin muda setiap tahun. Kaderisasi adalah denyut nadi yang menjaga Rohis tetap hidup, relevan, dan berkembang di tengah tsunami digitalisme.
Dr. M. Munir, M.A (Direktur Pendidikan Agama Islam, Ditjen Pendidikan Islam, Kementerian Agama)
Apa Reaksi Anda?
Suka
0
Tidak Suka
0
Cinta
0
Lucu
0
Marah
0
Sedih
0
Wow
0

