Kurikulum Merdeka dan Hilangnya Panggung Bermain Anak Kelas 1

Des 4, 2025 - 19:55
 0  2
Kurikulum Merdeka dan Hilangnya Panggung Bermain Anak Kelas 1

Kurikulum Merdeka dan Hilangnya Panggung Bermain Anak Kelas 1

Samarinda, Kalimantan Timur — Kurikulum Merdeka (Kurmer) dielu-elukan sebagai revolusi pendidikan yang menjanjikan kemerdekaan dan diferensiasi. Namun, di balik jargon pembaruan itu, sebuah kegaduhan tersembunyi tengah terjadi di ruang-ruang kelas 1 Sekolah Dasar (SD). Bagi anak-anak usia 6–7 tahun, Kurmer disinyalir telah mencabut hak esensial mereka: belajar melalui bermain, menyentuh, dan mengalami.

Alih-alih menjadi jembatan yang menyenangkan dari Taman Kanak-Kanak (TK) ke SD, implementasi Kurmer dinilai telah memaksakan beban kognitif yang jauh melampaui tahapan perkembangan anak, merusak fondasi pemahaman mereka.

Anak 6 Tahun Dipaksa Menjadi Filsuf Definisi

Kontradiksi fundamental ini berpusat pada materi pelajaran yang menuntut penguasaan definisi abstrak dan istilah ilmiah yang kompleks secara prematur.

Berangkat dari pandangan Jean Piaget (1896-1989), psikolog perintis teori perkembangan kognitif. Menurutnya, anak usia 6–7 tahun sedang berada dalam transisi dari fase Pra-Operasional menuju Operasional Konkret. Pada fase ini, pemikiran anak harus terikat pada apa yang dapat mereka lihat, sentuh, dan alami secara langsung. Pembelajaran wajib bersifat nyata (tangible) dan berbasis pengalaman sensorik.

Ironisnya, realitas kelas 1 hari ini berbalik 180 derajat. Anak-anak, yang seharusnya membangun pemahaman melalui tangan dan mata mereka, kini didorong untuk menghafal konsep yang tak berwujud.

Ambil contoh dalam materi pengetahuan alam. Daripada membangun pemahaman tentang "keseimbangan lingkungan" melalui kegiatan praktik menanam dan mengamati langsung di kebun sekolah, mereka mungkin diminta untuk mendefinisikan apa itu ekosistem atau siklus hidup.

"Ini mengubah pembelajaran dari eksplorasi penuh rasa ingin tahu menjadi sekadar tugas penghafalan," ujar seorang praktisi pendidikan di Samarinda. "Rasa ingin tahu alami mereka dimatikan. Mereka didorong untuk melompat, padahal belum mampu berjalan."

Beban Linguistik: Istilah-Istilah Langit di Kelas Bumi

Masalah semakin diperparah dengan penggunaan nomenklatur dan istilah-istilah yang asing, kaku, dan rumit. Istilah seperti fotosintesis, habitat, atau bahkan interaksi sosial tingkat tinggi menjadi beban linguistik yang tidak perlu.

Kurikulum seolah berlomba-lomba mencetak "ilmuwan cilik" dengan kosakata yang berat, alih-alih memastikan konsep dasar dipahami dengan bahasa sehari-hari. Akibatnya, alih-alih belajar, anak hanya meniru atau menghafal kata-kata tanpa internalisasi makna, menciptakan tembok emosional yang membuat mereka merasa pelajaran itu sulit.

Di sekolah berbasis Pendidikn Agama Islam, kasus kesenjangan antara teori dan praktik juga terjadi. Sebuah Lembar Kerja Siswa (LKS) Ilmu Fikih untuk Kelas 1 Madrasah Ibtidaiyah (MI) terbitan tahun 2024, misalnya, ditemukan memuat soal: "Najis muthawassitah tergolong najis apa?" atau "Contoh najis mughallazah adalah?"
Penggunaan terminologi yang sangat teknis dan abstrak seperti Muthawassithah (najis sedang) dan Mughallazah (najis berat) jelas membebani siswa.

Padahal, tindakan yang benar adalah fokus pada aksi konkret: Anak cukup diajarkan cara praktis membersihkan diri, misalnya, "Jika terkena kotoran hewan, cuci berkali-kali sampai hilang baunya." Penggunaan istilah teknis semacam itu seharusnya baru diberikan di kelas 4 atau 5 SD, saat kemampuan berpikir abstrak anak mulai matang.

Memaksa anak kelas 1 untuk mendefinisikan Istinja', Khatamul Anbiya', atau Syahadat Tauhid secara teoretis dan prematur hanya akan memicu kebingungan, kecemasan belajar, dan pemahaman yang dangkal.

Revitalisasi Prinsip Konkretisasi
Dampak dari "pemaksaan abstrak" ini sangat serius: anak didorong melompati fase perkembangan kognitifnya, yang berujung pada pemahaman yang rapuh (rote learning) alih-alih pemahaman yang mendalam (conceptual understanding).
"Di kelas 1, Prinsip Konkretisasi adalah raja," tegas seorang pengamat pendidikan. "Keberhasilan Kurikulum Merdeka tidak diukur dari seberapa canggih terminologi yang diucapkan siswa, melainkan seberapa kokoh dan nyata fondasi pemahaman yang mereka bangun."

Pelajaran bagi Kurikulum Merdeka: Anak usia 6 tahun adalah penjelajah. Tugas kurikulum adalah menyediakan alat peraga nyata, studi kasus yang bisa mereka sentuh, kegiatan praktik, dan bahasa yang membumi. Hentikan paksaan untuk menjadi filsuf atau ilmuwan definisi. Biarkan mereka menjadi penjelajah sejati yang memahami dunia melalui tangan, mata, dan panggung bermain mereka.(*tahrir)

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0
adminweb Sampaikan Walau 1 Ayat