Pribadi yang Dirindu: Refleksi Maulid Nabi SAW

Sep 4, 2025 - 11:53
Sep 4, 2025 - 11:53
 0  0
Pribadi yang Dirindu: Refleksi Maulid Nabi SAW

Dialah pemuda yang kebijaksanaannya melampaui usia mudanya. Dialah pemuda yang kejujuran (integritas)nya menjadi perbincangan segenap penjuru negeri. Dialah pemuda yang kelembutan hatinya menggetarkan hati orang yang mencintainya atau bahkan yang membencinya. Ya, dialah Muhammad ibn Abdullah SAW. Jauh sebelum dinobatkan sebagai seorang Nabi, padanya telah terkumpul sifat-sifat utama. "Dia manusia, tetapi tidak seperti manusia pada umumnya; dia seperti permata di antara bebatuan (Muhammadun basyarun lâ ka al-basyari, bal huwa ka al-yâqûti bain al-hajari)", demikian syair yang digubah oleh Syaikh Ja'far bin Hasan al-Barzanji dalam menggambarkan sosok Muhammad SAW di dalam kitabnya al-Barzanji.

Dikisahkan bahwa kabilah (suku) Quraisy yang mendiami Mekah bersepakat untuk memugar dan membangun kembali serta memperkuat struktur Ka'bah yang mulai rapuh akibat dimakan usia dan karena terjangan banjir besar. Setiap klan dari suku Quraisy bertanggung jawab untuk memperbaiki bidang/dinding/struktur yang telah ditetapkan sampai selesai. Muhammad ibn Abdullah ikut berpartisipasi membawa batu dari bukit. Permasalahan muncul ketika menetapkan siapa yang meletakkan kembali Hajar Aswad di tempatnya semula. Hajar Aswad hanya satu, sedangkan ada beberapa klan dari suku Quraisy yang terlibat dalam pembangunan kembali Ka'bah. Semua merasa paling berhak, karena meletakkan Hajar Aswad di tempatnya adalah kebanggaan dan kehormatan bagi klan dan suku.

Setelah perdebatan berlangsung beberapa hari, seorang tetua mengusulkan untuk dibuat sayembara bahwa orang yang esuk hari masuk ke dalam Masjidil Haram pertama kali, dialah yang berhak. Kesepakatan dicapai. Dan atas izin Allah SWT orang yang pertama kali masuk masjid pada hari yang ditentukan itu adalah Muhammad ibn Abdullah SAW. Semua berlapang dada, menerimanya sebagai ketetapan. Tidak ada yang protes. "Hadzâ al-amîn, radlîna bihî hakaman, Inilah al-Amin (orang yang terpercaya), kami rela dia yang menjadi penengah."

Sebelum peristiwa peletakan Hajar Aswad, Muhammad ibn Abdullah sudah dikenal dengan sebutan "al-Amin", orang yang terpercaya. Itu bukan gelar kebangsawanan, melainkan predikat sebagai penghargaan masyarakat atas integritas diri dalam berinteraksi baik dalam perdagangan dimana beliau pernah menjalaninya maupun dalam bermasyarakat.

Kewenangan untuk meletakkan Hajar Aswad kini ada pada Muhammad ibn Abdullah. Tetapi, beliau menggunakannya dengan sangat bijak. Beliau tidak egois, tidak mementingkan diri sendiri atau klannya. Beliau meminta selembar kain lebar untuk dibentangkan. Setiap pimpinan klan memegang ujung kain. Lalu, Muhammad ibn Abdullah SAW mengangkat dan meletakkan Hajar Aswad ke atas kain yang telah dibentangkan.

Seluruh pimpinan klan kemudian mengangkat ujung kain yang mereka pegang masing-masing dan bergerak mendekat ke Ka'bah. Muhammad ibn Abdullah mengambil Hajar Aswad dari atas kain dan meletakkan ke tempatnya. Semuanya lega. Semua mendapat peran dan kehormatan. Tidak ada yang diistimewakan dan tidak ada pula yang dikesampingkan.

Dengan egoisme dan kewenangan yang dimilikinya, Muhammad ibn Abdullah bisa saja mengambil, mengangkat, dan meletakkan Hajar Aswad di tempatnya seorang diri. Itu tidak dilakukan, karena semua orang menginginkannya. Dengan melibatkan seluruh pimpinan klan, tanda beliau merangkul dan menghargai semua, tanpa kecuali.

Kebijaksanaan Muhammad ibn Abdullah mampu meredam perselisihan yang hampir berujung pada pertikaian. Beliau memberi solusi inklusif. Empati yang ditunjukkan olehnya menjadikan keputusannya bisa diterima oleh para pimpinan klan karena mereka semua menginginkan peran sebagai orang yang mendapat kehormatan meletakkan Hajar Aswad. Dan itu telah mereka peroleh dari seorang pemuda yang sangat mereka percayai.

Dari kisah ini dapat diambil pelajaran. Pertama, kaum Quraisy legawa kepada Muhammad ibn Abdullah sebagai orang yang meletakkan Hajar Aswad bukan semata karena sesuai sayembara bahwa dialah orang yang pertama kali masuk masjid, melainkan karena mereka sudah mengenalnya sebagai orang yang jujur dan berintegritas (al-Amin). Langkah bijak yang diambilnya dengan melibatkan seluruh pimpinan klan semakin menebalkan gelar tersebut.

Ketika itu pemuda Muhammad ibn Abdullah hanyalah orang biasa. Akan tetapi, kemampuannya untuk mengajak dan menggerakkan para kepala klan dan suku mengikuti arahannya, layaknya seorang pemimpin. Kemampuan ini tidak lain karena kapasitas pribadi sebagai seorang yang dikenal jujur (berintegritas) lagi bijaksana. Kekuatan ini dikenal sebagai referent power (John R.P. French dan Bertram Raven, 1959).

Dalam referent power, pengaruh seseorang karena dia memiliki kharisma pribadi. Kepatuhan masyarakat kepadanya karena kekaguman, rasa hormat, dan keteladanan yang dicontohkannya. Kekuatan ini lebih permanen dibanding dengan kekuatan seseorang yang bisa mempengaruhi orang lain dengan cara suka memberikan iming-iming, hadiah (reward power); menakut-nakuti dan suka menghukum (coercive power); kekuatan legal formal karena menduduki jabatan (legitimate power); dan juga kekuatan karena keahlian teknis tertentu (expert power). Pribadi dengan kekuatan ini menghadirkan rasa nyaman dan dirindukan oleh pendukungnya. Ia akan tetap dielukan selama yang bersangkutan masih memegang standar moral tinggi dan orientasi nilai-nilai masyarakat tidak bergeser.

Kedua, rasa empati yang ditunjukkan oleh Muhammad ibn Abdullah dengan cara merangkul dan menghargai semua pihak menjadi momentum untuk memperkuat kohesi sosial. Dalam masyarakat tribal yang sangat egosentris, kehormatan suku dan klan di atas segalanya. Perselisihan dan pertikaian sering terjadi atas nama menjaga harga diri suku dan klan.

Meletakkan Hajar Aswad menjadi salah satu simbol harga diri. Mereka semua menginginkannya. Muhammad ibn Abdullah menyadari betul situasi ini. Salah mengambil keputusan memicu pertikaian. Ketepatan tindakan yang diambil olehnya dengan mengajak serta seluruh pimpinan klan meluluhkan ego mereka. Kohesivitas sosial terbentuk dari potensi konflik karena ada kekuatan besar yang mengatasi semua kepentingan kelompok. Dan itu adalah kepribadian Muhammad ibn Abdullah.

Kesimpulannya adalah Muhammad ibn Abdullah menjadi pribadi yang dicintai dan dirindu oleh umat baik sebelum atau setelah menjadi seorang Nabi karena kepribadiannya. Selain berintegritas, empatik, dan bijak, Nabi SAW dikenal sebagai pribadi yang penuh kasih sayang, kepada siapa saja. Bahkan kepada seorang wanita tua yang sering menghinanya, Nabi tetap datang ketika wanita itu sakit.

Beliau juga seorang altruist (memberi tanpa pamrih) dan orang yang mampu memberikan rasa aman dan harapan. Pada saat penaklukan kota Mekah (Fathu Makkah) oleh kaum muslimin dari tangan Kafir Quraisy, Nabi SAW menjamin keamanan penduduk Mekah yang mengikuti seruannya untuk berdiam diri di rumah masing-masing atau masuk ke dalam rumah Abu Sufyan. Padahal dia semula adalah musuh besar Nabi SAW. Dalam suasana ketakutan akan balas dendam umat Islam kepada kafir Quriasy atas perlakuannya terdahulu, jaminan keamanan yang diberikan oleh Nabi SAW memberikan harapan baru bagi mereka.

Singkat kata yang bisa menarik simpati dan kerinduan adalah kepribadian baik. Jabatan hanya sementara. Hadiah dan pemberian tidak akan bisa selamanya. Ancaman untuk menaklukkan orang pada saatnya akan berbalik kepada kita. Itulah sebabnya Nabi SAW mengingatkan agar kita memiliki akhlak yang baik, seperti yang dicontohkan beliau. "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia", HR Bukhari dari Abu Hurairah. Wallahu a'lam bi al-sawab.

Syafi'i (Kepala Pusat Pengembangan Kompetensi Manajemen, Kepemimpinan dan Moderasi Beragama pada BMBPSDM Kemenag)

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0