PAI Fair 2025: Api Kecil yang Menyala di Dada Generasi Emas
Di suatu pagi di Banten, seorang siswi kelas 6 bernama Aisyah menatap layar ponselnya. Video pendek berdurasi 59 detik yang ia rekam malam itu, tentang “bagaimana salam bisa mengubah hari seseorang”, baru saja ditonton ribuan kali. Di kolom komentar, seorang guru dari Aceh menulis: “Makasih, Nak. Aku pakai ini buat kelas pagi ini.”
Aisyah tersenyum. Ia baru tahu, satu klik rekam bisa menyalakan ribuan hati. Itulah PAI Fair, tempat api kecil menjadi nyala yang indah.
Nun jauh di ujung Indonesia di sebuah warnet desa, anak-anak itu duduk berdesakan. Mereka merekam video pendek dengan pesan kuat yang berjudul “Salam dari Rote untuk Dunia”. Hanya 58 detik. Seorang anak membaca ayat tentang laut, yang lain menari sasando mini, dan yang terakhir mengakhiri dengan suara kecil: “Kami ingin bilang, agama itu damai, seperti ombak yang pulang ke pantai.”
Bukan Sekadar Slogan
Di balik kata-kata itu, ada 3.200 cerita dari Sabang sampai Merauke yang menunggu untuk ditulis ulang. Ada Umar, siswa SMK dari Yogyakarta, yang merakit smart prayer mat—sajadah pintar yang mengingatkan waktu salat lewat lampu Light Emitting Diode (LED) berwarna-warni.
Sajadah yang menyala lembut saat adzan, bergetar pelan saat sujud, dan mati sendiri saat salam. Ia menamainya “Sujudku”. Bisa pula kita melihat sujud yang berwarna warni dengan dukungan elemen elektronik.
Umar sada, apa yang diperbuat bukan terutama ambisi untuk menang, tapi karena ia tahu, ayahnya yang buruh bangunan sering lupa salat karena lelah.
“Kalau sajadah bisa mengingatkan, mungkin ayah pulang dengan hati yang lebih ringan,” katanya pada dirinya sendiri.
Ada Bu Rina, guru PAI di Papua, yang mengajar anak-anak suku Dani membaca Al-Qur’an lewat permainan ulap doyo—tarian adat yang disisipi ayat. Setiap halaman adalah ayat Al-Qur’an yang diterjemahkan ke dalam tarian ulap doyo.
Anak-anak Dani tertawa, meniru gerakan, dan tanpa sadar menghafal “Bismillah” dalam irama adat mereka. Saat Bu Rina merekam, seorang nenek kampung menitikkan air mata. “Pertama kali anak-anak di sini bilang ‘Allah’ dengan senyum.”
Ada tim siswa dari Lombok yang membuat komik digital tentang “Nabi dan Lingkungan”—dicetak di kertas daur ulang dari limbah pasar.Semua mereka satu napas: “Kami bukan hanya belajar agama. Kami menghidupkannya.”
Di Jakarta, di ruang rapat Direktorat PAI, Dr. M. Munir, M.A. membuka laptop yang terhubung dengan layar besar. Di layar itu ia dapati ratusan video, proyek, dan cerita dari seluruh Indonesia. Ia berhenti di video dari Rote, kemudian di foto smart prayer mat dari Yogyakarta, dipungkasi laporan dari Papua. Ia menutup mata sejenak “Ini bukan lomba,” tegasnya, “ini doa yang berjalan.”
PAI Fair merupakan doa yang berjalan yang ditempuh dengan beragam urgensi kebijakan. Pertama, menjembatani gap relevansi PAI di Era Digital. Survei Kemenag 2024: 68 % siswa SMA merasa PAI “kurang relate” dengan isu kekinian (media sosial, AI, radikalisme online). PAI Fair mendorong siswa & guru membuat konten Islami yang viral-worthy (Islamic Content Creator Challenge).
Kedua, Menyelamatkan generasi Z yang hilang dari masjid. Data BKKBN 2025 menyebutkan bahwa 47 % remaja Muslim jarang ke masjid karena tidak ada aktivitas yang seru. PAI Fair membawa masjid ke panggung pop-culture: debat Islami, content creative, dan sajadah pintar. Ketiga, memperkuat Guru PAI sebagai “content creator moderasi”. Guru PAI sering jadi korban hoaks agama di grup WA orang tua. PAI Fair memberi inspirasi para guru dengan cara cara membuat reels anti-radikalisme.
Pada akhirnya, PAI Fair bukan sekadar festival—ia adalah “detak jantung” yang memompa darah baru ke tubuh Pendidikan Agama Islam: relevan, hidup, dan berdampak global. “Jika PAI tidak bergerak cepat, anak-anak kita akan mencukupkan diri belajar agama Islam dari Google dan TikTok. PAI Fair memastikan mereka belajar dari hati yang beriman dan tangan yang berkarya,” pungkasnya mengakhiri.
Apa Reaksi Anda?
Suka
0
Tidak Suka
0
Cinta
0
Lucu
0
Marah
0
Sedih
0
Wow
0

