PAI di Sekolah dan PTU, Benteng Moralitas Bangsa di Tengah Dominasi STEM
Pendidikan Agama Islam (PAI) telah menjadi elemen tak terpisahkan dari tataran pendidikan nasional Indonesia, membentang dari jenjang PAUD /TK, sekolah dasar, menengah, hingga perguruan tinggi umum. Keberadaannya bukan sekadar formalitas kurikuler, melainkan mandat konstitusional yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (3) serta Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menegaskan bahwa pendidikan agama bertujuan membentuk insan Indonesia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta berakhlak mulia.
Lebih jauh, amanat Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan agama dan Pendidikan Keagamaan secara eksplisit menyebutkan bahwa Pendidikan Agama Islam (PAI) diartikan sebagai pendidikan yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama Islam secara terpadu dengan pengetahuan dan ilmu pengetahuan lainnya. PP ini juga menegaskan bahwa pengelolaan pendidikan agama menjadi tanggung jawab Kementerian Agama.
Namun demikian, di balik peran strategis ini, PAI menghadapi tantangan struktural yang semakin kompleks dan tidak mudah diatasi. Minimnya alokasi jam pelajaran PAI di sekolah-sekolah umum menjadi salah satu hambatan utama, sementara PAI diberi tanggung jawab berat untuk menjaga moralitas bangsa di tengah gempuran arus globalisasi, sekularisasi, dan disrupsi digital.
Kondisi ini diperdalam oleh kecenderungan kebijakan pendidikan nasional yang semakin menomorsatukan ilmu pengetahuan, teknologi, teknik, dan matematika (STEM) sebagai mesin penggerak daya saing global, sehingga PAI sering kali hanya disebut dalam narasi kebijakan, tapi kurang mendapat perhatian substantif dalam alokasi sumber daya dan implementasi lapangan.
Data Empirik
Data empiris memperkuat gambaran ini. Menurut laporan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) tahun 2023, jam pelajaran PAI di sekolah umum rata-rata hanya 2–3 jam per minggu, atau kurang dari 10 persen total beban belajar siswa. Bandingkan dengan alokasi jem pelajaran untuk mata pelajaran STEM yang mencapai 40–50 persen, termasuk melalui program penguatan "Pendidikan Bermutu untuk Semua" yang diluncurkan Oktober 2025 yang menekankan literasi digital, coding, dan keterampilan abad 21.
Di perguruan tinggi umum, PAI sering kali hanya menjadi mata kuliah wajib dengan bobot 2–3 SKS, tanpa integrasi mendalam dengan disiplin ilmu lain. Sementara itu, survei nasional Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa 68 persen responden muda (usia 15–24 tahun) merasa pendidikan agama di sekolah kurang relevan dengan tantangan kehidupan nyata, seperti isu korupsi, intoleransi, radikalisme, dan degradasi moral-etika di ruang digital. Ironisnya, di saat masyarakat semakin membutuhkan benteng moral untuk menghadapi krisis multidimensional—mulai dari maraknya hoaks berbau SARA hingga penyalahgunaan teknologi—PAI justru terpinggirkan. PAI seperti "tamu kehormatan" yang diundang dalam dokumen kurikulum, tapi tidak diberi ruang cukup untuk berbicara.
Ukuran STEM
Tantangan ini bukanlah fenomena baru, melainkan akumulasi dari paradigma pendidikan yang terlalu berorientasi pada output ekonomi jangka pendek. Program internasional seperti Programme for International Student Assessment (PISA) dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), yang menjadi acuan kebijakan, cenderung mengukur keberhasilan pendidikan melalui kemampuan STEM, sehingga mendorong alokasi anggaran dan pelatihan guru yang tidak seimbang.
Akibatnya, guru PAI sering kali menghadapi keterbatasan fasilitas, kurangnya pelatihan pedagogi inovatif, dan stigma bahwa mata pelajaran PAI "kurang strategis" dibandingkan sains atau teknologi. Padahal, PAI memiliki mandat holistik. PAI tidak hanya mentransmisikan pengetahuan agama, tapi juga membentuk karakter, empati sosial, dan ketahanan mental—elemen-elemen yang justru menjadi prasyarat bagi inovasi berkelanjutan. Tanpa moralitas yang kuat, kemajuan STEM berisiko melahirkan teknologi tanpa etika, seperti yang terlihat dalam kasus penyalahgunaan AI untuk deepfake atau manipulasi data.
Meski demikian, semangat juang PAI tidak pernah padam. Di tengah situasi yang tidak positif bagi peran dan fungsi PAI sesungguhnya, para pendidik, siswa, dan penggiat PAI terus menunjukkan kreativitas, ketangguhan, dan produktivitas yang luar biasa. Mereka tidak menunggu kebijakan top-down, melainkan membangun inisiatif bottom-up yang inovatif dan inklusif. Salah satu bukti nyata adalah penyelenggaraan Kongres Rohis Nasional, sebuah forum tahunan yang menyatukan organisasi kerohanian Islam (Rohis) dari ribuan sekolah di seluruh Indonesia.
Terus Cipta Program Berdampak
Kongres ini tidak hanya menjadi ajang silaturahim, tapi juga laboratorium ide untuk membahas isu-isu kekinian seperti moderasi beragama di era media sosial, pencegahan radikalisme melalui pendekatan budaya, dan integrasi nilai Islam dengan isu lingkungan. Anak-anak Rohis adalah tempat persemaian ide-ide progresif yang menguatkan nilai religiusitas Islam, visi yang kuat sebagai anak bangsa, dan tak kalah penting adalah wawasan kebangsaan. Mereka adalah tunas murni tempat harapan bangsa bersemi. Mereka adalah para calon pemimpin bangsa dan kita harus memberi bekal nilai dan ajaran Islam secara memadai.
Tidak kalah penting adalah Kongres Pergerakan Mahasiswa Moderasi Beragama dan Bela Negara (PMMBN), yang merupakan inisiatif mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi umum untuk memperkuat wawasan kebangsaan yang berlandaskan nilai agama. PMMBN bukan sekadar seminar, melainkan gerakan nasional yang melibatkan ribuan mahasiswa dalam aksi nyata: dari dialog lintas agama di kampus-kampus rawan konflik hingga pelatihan bela negara berbasis nilai Pancasila dan Islam rahmatan lil alamin. Kongres ini telah menghasilkan deklarasi bersama yang menekankan pentingnya PAI sebagai vaksin ideologis terhadap ekstremisme. Di tengah maraknya polarisasi politik dan identitas, PMMBN membuktikan bahwa generasi muda Muslim dapat menjadi agen perdamaian dan penggerak beragama maslahat, bukan sumber konflik.
Sementara itu, PAI Fair—sebuah ajang pameran dan olimpiade Pendidikan Agama Islam—akan menjadi etalase kreativitas yang memukau. Digelar di Jakarta, acara ini memamerkan terobosan pengajaran PAI melalui media interaktif: mulai dari virtual reality (VR) untuk simulasi ibadah haji, game edukasi berbasis Al-Qur'an, hingga teater musikal yang mengangkat kisah nabi dengan pendekatan psikologi modern yang akan dipentaskan dalam sederet lomba dan ekshibisi. PAI Fair tidak hanya menarik siswa, tapi juga orang tua dan masyarakat umum, sehingga memperluas dampak PAI di luar tembok sekolah.
Selain ketiga inisiatif besar ini, berbagai terobosan lain terus bermunculan: pengembangan aplikasi mobile seperti "PAI Digital" yang mengintegrasikan tafsir Al-Qur'an dengan analisis data sains; program mentoring online antara guru PAI dan siswa di daerah terpencil; hingga kolaborasi dengan startup edutech untuk menciptakan modul PAI berbasis AI yang adaptif terhadap gaya belajar siswa. Direktorat PAI juga mengawal lahirnya Wakaf Goes to School yang kemudian berkembang menjadi Satu Wakaf di Sekolah, gagasan untuk mewadahi nilai dan ajaran Islam dalam filantrofi. Dan
Selain itu, ide Kantin Halal juga dijalankan untuk membangun kesadaran ekosistem makanan halal dan sehat bagi siswa di sekolah. Asesmen Literasi Beragama Guru PAI dan Siswa di sekolah pun diluncurkan yang menargetkan bukan saja ukuran tingkat literasi beragama di kalangan Guru PAI dan Siswa, tapi juga hasil peta kualitas layanan Pendidikan Agama Islam secara nasional. Tuntas Baca Al-Qur’an pun disentuh dan dikembangkan. Program penting ini dilaksanakan untuk meningkatkan kemampuan membaca Al-Qur'an siswa dan guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di seluruh Indonesia. Tujuannya adalah agar siswa bisa membaca Al-Qur'an dengan lancar dan sesuai kaidah tajwid, serta guru PAI dapat menjadi teladan dan membimbing murid-muridnya secara efektif. Apa yang dilaksanakan tersebut pada dasarnya langsung berhadapan dengan paradigma arus utama tentang STEM di sekolah dan perguruan tinggi umum.
Titik Balik Kebangkitan
Sudah saatnya paradigma pendidikan nasional direvisi secara fundamental. Menomorsatukan STEM memang krusial untuk kemajuan ekonomi dan teknologi, tapi mengabaikan PAI berisiko menciptakan generasi cerdas secara intelektual namun rapuh secara moral—sebuah resep bencana bagi keberlanjutan bangsa. Pemerintah, melalui Kemdikbudristek dan Kementerian Agama, harus segera mengambil langkah konkret: (1) meningkatkan alokasi jam pelajaran PAI minimal menjadi 4–5 jam per minggu dengan pendekatan integratif; (2) menyediakan anggaran khusus untuk pelatihan guru PAI dalam pedagogi digital dan STEM-integrated; (3) mengintegrasikan PAI dalam konsep Pendidikan Bermutu untuk Semua sebagai mata pelajaran inti yang setara dengan sains dan matematika; serta (4) mendukung inisiatif seperti Kongres Rohis, PMMBN, dan PAI Fair sebagai model best practice yang bisa direplikasi secara nasional.
PAI bukanlah pelengkap kurikulum, melainkan pilar utama pembentukan peradaban. Di tengah era disrupsi, PAI justru bisa menjadi kekuatan pengimbang yang harmonis: membekali siswa dengan etika teknologi, empati sosial, dan visi kebangsaan yang inklusif.
Saatnya PAI tidak lagi "disebut tapi diabaikan", melainkan benar-benar diperhatikan sebagai investasi strategis jangka panjang bagi Indonesia yang bermartabat, adil, dan berakhlak mulia. Jika kita gagal memperkuat PAI hari ini, kita sedang mempertaruhkan moralitas Generasi Emas dan gagal mengantarkan mereka ke bonus demografi 2045.
Dr. M Munir, M.A (Direktur Pendidikan Agama Islam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama)
Apa Reaksi Anda?
Suka
0
Tidak Suka
0
Cinta
0
Lucu
0
Marah
0
Sedih
0
Wow
0

