Meniti Jalan dari Kuli Bangunan ke Penyuluh: Transformasi Muhlisin di Tanah Dewata
Moderasi beragama di Bali bukanlah hal baru atau tabu. Di pulau yang dikenal dengan sebutan Pulau Dewata, nilai-nilai toleransi dan keberagaman telah menjadi bagian dari denyut nadi kehidupan masyarakat.
Sejak lama, masyarakat Bali hidup dalam suasana saling menghormati antar pemeluk agama. Bagi mereka, keberagaman bukan ancaman, melainkan kekuatan yang menjaga keseimbangan kehidupan. Tanpa moderasi, kehidupan sosial akan terasa sesak dan kehilangan harmoni.
Prinsip itu pula yang senantiasa dipegang oleh Muhlisin, seorang pemuda sederhana asal Desa Beji, Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali Jawa Tengah. Kini, ia mengabdikan diri sebagai pegawai di Kementerian Agama Kota Denpasar, Bali, dan dikenal luas karena kiprahnya dalam menumbuhkan semangat moderasi beragama di kalangan masyarakat lintas keyakinan.
Namun, perjalanan Kang Muhlisin menuju posisi itu tidaklah mudah. Ia menempuh jalan panjang penuh perjuangan, dimulai dari pekerjaan kasar hingga akhirnya menjadi sosok inspiratif di bidang keagamaan dan sosial.
Merantau ke Bali dengan Bekal Keberanian
Tahun 2010 menjadi titik awal perjalanan besar dalam hidup Muhammad Muhlisin, nama lengkap Kang Muhlisin. Dengan bekal kepercayaan diri, doa restu orang tua, dan sedikit pengetahuan yang dimiliki, ia memberanikan diri merantau ke Pulau Bali.
"Saat itu, saya hanya mengantongi ijazah SMA, tanpa pengalaman kerja atau keahlian khusus. Namun, tekad kuat untuk mengubah nasib membuat saya berani menapaki jalan yang penuh tantangan," tuturnya.
Ia menyadari bahwa hidup di perantauan tidak akan mudah, terlebih di pulau yang masyarakatnya heterogen dengan kebiasaan dan budaya yang jauh berbeda dari kampung halamannya.
"Tapi saya bertekad untuk dapat beradaptasi, belajar dari setiap pengalaman, dan membangun kehidupan yang lebih baik," akunya.
Menata Batu Bata: Sekolah Kehidupan yang Sesungguhnya
Langkah awalnya di Bali dimulai dari pekerjaan paling dasar: menjadi kuli bangunan. Saat itu ia terlibat di salah satu proyek pembangunan hotel ternama di kawasan wisata. Tanpa pengalaman di dunia konstruksi, ia harus belajar dari nol.
"Setiap hari saya ikut mengangkat batu bata, mencampur semen, dan menahan panas terik matahari yang membakar kulit," kisahnya.
Lingkungan kerja di proyek pun keras. Rekan-rekannya berasal dari berbagai daerah dengan karakter yang beragam. Namun, semua itu tidak membuat Muhlisin patah semangat. Ia justru menjadikannya sebagai ujian keteguhan hati dan kesempatan untuk melatih kesabaran.
Meski lingkungan kerja cenderung bebas dan jauh dari suasana religius, Kang Muhlisin tetap menjaga salat dan puasanya.
"Menurut saya, menjaga nilai-nilai agama bukan hanya soal ritual, tetapi juga tentang kejujuran, kerja keras, dan tanggung jawab," ungkapnya.
Baginya, di mana pun berada, prinsip Islam harus tetap menjadi pedoman hidup.
Selama delapan bulan ia menekuni pekerjaan itu. Hingga akhirnya, hotel yang dibangunnya berdiri megah dan proyek dinyatakan selesai. Para pekerja satu per satu diberhentikan, termasuk dirinya.
Akan tetapi takdir berkata lain. Karena ketekunan dan kejujurannya selama bekerja, pihak manajemen hotel justru menawarinya posisi baru sebagai admin hotel menjelang pembukaan. Kesempatan itu menjadi awal perubahan besar dalam hidupnya.
Bekerja Sambil Kuliah: Membangun Diri dari Dua Dunia
Seiring berjalannya waktu, hotel tempatnya bekerja tumbuh pesat dan menjadi salah satu hotel terbaik di Bali. Di tengah kesibukan itu, Muhlisin merasa perlu meningkatkan kapasitas dirinya. Setahun kemudian, ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dengan mendaftar di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Denpasar, satu-satunya perguruan tinggi Islam di Bali saat itu.
Karena bekerja pada siang hari, ia memilih kuliah malam. Aktivitas padat membuatnya harus pandai mengatur waktu antara pekerjaan dan studi.
"Bekerja di hotel, saya belajar tentang profesionalitas, manajemen, dan toleransi. Di kampus saya mendalami ilmu agama, dakwah, dan nilai-nilai spiritualitas," kata Kang Muhlisin.
Pengalaman di dua lingkungan yang sangat berbeda justru membentuk karakternya. Di hotel, ia berinteraksi dengan rekan-rekan kerja yang sebagian besar beragama Hindu dan Kristen. Ia belajar menghargai perbedaan, memahami budaya lain, dan menumbuhkan empati.
Sedangkan di kampus, ia memperdalam ilmu agama agar mampu menjadi pribadi yang berimbang antara dunia dan akhirat.
“Saya belajar agama di kampus, tetapi saya belajar toleransi di tempat kerja,” ujarnya.
Menjadi Penyuluh Agama: Langkah Awal Mengabdi
Kang Muhlisin lalu menceritakan pada awal tahun 2020, sebelum pandemi Covid-19 melanda, dia mencoba keberuntungan baru. Ia mengikuti seleksi penerimaan Penyuluh Agama Islam non-PNS di Kementerian Agama Kota Denpasar.
Dari 54 peserta yang mendaftar, 36 orang dinyatakan lolos, dan Muhlisin termasuk salah satunya.
"Awalnya saya ditempatkan di KUA Kecamatan Denpasar Selatan, dengan tugas khusus memberikan penyuluhan tentang antiradikalisme dan aliran sempalan," lanjutnya.
Menariknya, di awal masa tugas itu, Kang Muhlisin masih bekerja di hotel. Ia menjalani dua dunia yang tampak bertolak belakang: siang hari di lingkungan hotel yang ramai dengan wisatawan, malam hari menjadi penyuluh yang membimbing masyarakat untuk hidup damai dan moderat.
Kedua peran itu justru saling melengkapi. Dari hotel, ia memahami dinamika sosial masyarakat majemuk. "Kalau dari tugas penyuluhan saya belajar bagaimana mengelola perbedaan menjadi kekuatan," ujarnya.
Hingga akhirnya, pada tahun 2025, ia memutuskan untuk fokus penuh di Kementerian Agama Kota Denpasar dan dipercaya sebagai Penata Layanan Operasional Bimbingan Masyarakat Islam.
Mendirikan Majelis Taklim Ar-Risalah: Mewujudkan Dakwah yang Merangkul
Sebagai penyuluh, Kang Muhlisin tidak puas hanya memberikan ceramah di masjid-masjid. Ia ingin melakukan sesuatu yang lebih nyata.
Keinginan itulah yang membuatnya kemudian melahirkan Majelis Taklim Ar-Risalah. Majelis ini jadi wadah pembinaan yang memiliki jamaah unik: mantan preman, para mualaf, dan orang-orang yang sedang berhijrah.
Di majelis tersebut, ia mengajarkan ilmu agama dengan pendekatan sosial dan humanis.
"Saya mencoba pembahasan pengajian tidak hanya seputar fikih dan akidah, tetapi juga tentang etika bermasyarakat, pengendalian diri, dan pentingnya moderasi beragama," tutur Kang Muhlisin.
Ia mengatakan berkeinginan agar para jamaah mampu diterima dengan baik di lingkungan sekitar dan menjadi agen perdamaian.
Upaya ini mendapat sambutan positif dari banyak pihak, mulai dari KUA, tokoh masyarakat, hingga GP Ansor Bali.
Atas kiprahnya, pada tahun 2022, Muhlisin dianugerahi penghargaan sebagai Penyuluh Agama Islam Teladan tingkat Kota Denpasar. Tahun berikutnya, 2023, ia kembali meraih predikat Penyuluh Teladan tingkat Provinsi Bali.
Tidak berhenti di situ, pada tahun 2024 dan 2025, ia kembali dinobatkan sebagai Penyuluh Terbaik bidang Moderasi Beragama tingkat Provinsi Bali.
"Puncaknya alhamdulillah di tahun 2025 ini saya masuk Top 5 Penyuluh Agama Islam Award tingkat Nasional dalam kategori Penguatan Moderasi Beragama," ujarnya.
Dari Tukang Bangunan Menjadi Penggerak Moderasi
Rangkaian prestasi tersebut menjadi bukti nyata bahwa ketekunan, keikhlasan, dan komitmen dapat membawa seseorang mencapai puncak keberhasilan.
Perjalanan hidup Kang Muhlisin bagaikan mozaik indah: setiap kepingan pengalaman membentuk sosok yang matang dan bermanfaat bagi orang lain.
Dulu, ia menata batu bata untuk membangun hotel tempat orang beristirahat. Kini, ia menata 'batu bata' kehidupan umat, menyusun fondasi harmoni dan saling pengertian di tengah masyarakat majemuk.
Bagi Muhlisin, moderasi bukan hanya wacana, melainkan praktik hidup sehari-hari. Ia percaya bahwa setiap perbedaan dapat menjadi kekuatan jika dikelola dengan cinta dan keikhlasan.
Prinsip itu ia bawa dalam setiap langkah pengabdiannya di Kementerian Agama dan dalam setiap interaksi dengan masyarakat lintas agama.
Perlahan-lahan nama Kang Muhlisin dikenal tidak hanya di kalangan penyuluh agama, tetapi juga di komunitas lintas iman di Bali. Ia menjadi contoh nyata bahwa perjuangan dan pengabdian yang tulus akan selalu menemukan jalannya menuju keberkahan.
*Artikel ini terbit atas kerjasama Kementerian Agama dan Arina.id.
Apa Reaksi Anda?
Suka
0
Tidak Suka
0
Cinta
0
Lucu
0
Marah
0
Sedih
0
Wow
0

