Meneladani Rasulullah, Menghidupkan Kepemimpinan Pendidikan dari Desa

Jejak Kepemimpinan yang Memberdayakan
Juli lalu, di ruang sidang ujian terbuka UIN Walisongo, saya menyimak paparan mendalam Dr. Bisri Purwanto. Disertasinya mengupas tuntas "Kepemimpinan Ulama dan Umara di Desa Berahan Wetan, Demak". Saat itu, saya tidak hanya menjadi penguji, tetapi diajak menyelami lebih dalam realitas kehidupan masyarakat desa yang penuh keteladanan. Saya merasakan langsung harmonisasi kepemimpinan di sana, yang serta-merta mengingatkan saya pada keteladanan agung Rasulullah Muhammad SAW.
Realitas kehidpuan itu terangkai dari dua warna utama: kharisma ulama dan legitimasi umara. Yang satu membawa otoritas moral, yang lain membawa mandat kebijakan. Di Berahan Wetan, kedua warna ini tidak saling menodai, tetapi justru berpadu membentuk gambar yang indah. Mereka duduk bersama dalam musyawarah, merancang masa depan pendidikan anak-anak desanya. Dana desa (APBDes) dialokasikan dengan cermat untuk membiayai kehidupan guru-guru mengaji dan merawat tunas-tunas Islam di madrasah diniyah, TPQ, dan pesantren.
Dalam pola kolaborasi ini, saya menangkap gema prinsip Siddiq (jujur) dan Amanah (terpercaya). Para ulama berdiri di garda depan dengan ilmu dan akhlaknya yang kokoh, menjadi penjaga nilai yang tidak mudah goyah. Sementara para umara menunjukkan komitmennya dengan mengelola kepercayaan masyarakat (berupa anggaran) secara transparan dan adil. Inilah cerminan nyata dari kepemimpinan Rasulullah yang membangun peradaban dimulai dari membangun kepercayaan.
Lebih dari itu, kepemimpinan mereka juga menunjukkan Fathanah (kecerdasan). Mereka tidak hanya pandai mengidentifikasi masalah, seperti rendahnya kesejahteraan guru non-formal, tetapi juga lihai merajut solusi. Kecerdasan ini kemudian disampaikan (Tabligh) kepada masyarakat dengan bahasa yang merangkul, bukan memerintah, sehingga melahirkan dukungan yang tulus dari seluruh warga.
Pada peringatan Maulid Nabi ini, refleksi dari Berahan Wetan terasa sangat menyentuh. Di tengah iklim kebangsaan kita yang kerap dikepung oleh politik transaksional dan kepemimpinan yang terkotak-kotak, desa kecil di Demak ini justru mengajarkan pada kita arti kepemimpinan sejati: yang melayani, yang mempersatukan, dan yang memberdayakan. Meneladani Rasulullah bukanlah romantisme sejarah, tetapi menghidupkan sunnah kepemimpinannya dalam tindakan nyata, persis seperti yang dilakukan para pemimpin di Berahan Wetan.
Spirit Kepemimpinan Nabi dalam Konteks Lokal
Lantas, apa sebenarnya resep utama dari kesuksesan kolaborasi di Berahan Wetan ini? Disertasi Dr. Bisri mengungkapnya dengan rinci. Resepnya terletak pada sinergi yang utuh dan saling melengkapi antara otoritas ulama dan umara. Sinergi ini tidak hanya retorika, tetapi diterjemahkan dalam tiga pilar konkret: pembiayaan dari APBDes, keterlibatan dalam penyusunan kurikulum, dan penguatan kelembagaan pendidikan (Bisri, 2025: h. 137-160; 245-267). Inilah trilogi yang mengubah keterbatasan menjadi kemajuan.
Dalam pilar pembiayaan, temuan di lapangan menunjukkan bagaimana Kepala Desa dengan legitimasi formalnya mengalokasikan dana desa untuk insentif guru Madrasah Diniyah dan PAUD. Keputusan strategis ini, seperti tercatat dalam dokumen APBDes, bukanlah bentuk charity, tetapi hasil musyawarah yang melihat pendidikan sebagai investasi peradaban yang paling utama (Bisri, 2025: h. 196-207).
Sementara itu, para ulama tidak pasif. Mereka memastikan program itu berjalan lancar dan tepat sasaran, memberikan legitimasi moral bahwa penggunaan uang rakyat untuk pendidikan adalah bagian dari ibadah sosial yang sangat mulia. Pendekatan ini berhasil memangkas kecurigaan dan membangun trust yang menjadi fondasi seluruh program.
Pada pilar kurikulum, peran mereka juga beririsan. Ulama masuk dalam penyusunan materi, memastikan muatan lokal dan nilai-nilai keislaman yang moderat dan rahmatan lil ‘alamin terintegrasi dengan baik (Bisri, 2025: h. 145-154). Umara mendukung dengan menyediakan forum dan fasilitas untuk pelatihan guru. Mereka bersama-sama memastikan anak-anak tidak hanya pintar secara akademis tetapi juga berakhlak al-karimah.
Adapun pada pilar kelembagaan, sinergi ini mewujud dalam struktur kepengurusan lembaga pendidikan. Para ulama sering duduk dalam komite sekolah atau yayasan, memberikan arahan spiritual dan manajerial. Dukungan umara membuat kebijakan yang lahir dari lembaga tersebut memiliki ‘gigi’ secara struktural dan mudah diakses oleh masyarakat.
Jika kita mencermati, praktik di atas adalah refleksi nyata dari sifat Rasulullah. Siddiq & Amanah terwujud ketika ulama jujur pada ilmunya dan umara jujur pada amanah kekuasaannya. Fathanah terlihat dari kecerdasan mereka membaca peluang dan menyelesaikan masalah dengan gotong royong, alih-alih saling menyalahkan. Mereka cerdas mengelola potensi desa untuk masa depan warganya.
Sementara Tabligh terpancar dari cara mereka berkomunikasi. Setiap program disosialisasikan dengan bahasa yang merangkul, dari mimbar masjid hingga balai desa. Tidak ada pemaksaan, yang ada adalah dialog untuk membangun kesepahaman. Inilah spirit dakwah Rasulullah yang penuh hikmah dan nasehat baik (QS. An-Nahl: 125). Spirit yang ternyata masih hidup dan berdenyut kencang di jantung sebuah desa di Demak.
Kepemimpinan Pendidikan Menuju Indonesia Emas
Mencermati praktik kepemimpinan di Berahan Wetan, terungkaplah sebuah preskripsi (obat) bagi penyakit kronis Indonesia: kolaborasi ulama-umara. Kolaborasi itu diwujudkan dalam tiga pilar—pembiayaan, kurikulum, dan kelembagaan—serta dijabarkan dalam tiga watak kepemimpinan: anti-korupsi, anti-hedon, dan anti-pencitraan. Desa ini bukan sekadar contoh, melainkan prototipe nyata kepemimpinan pendidikan yang melahirkan cahaya peradaban. Menuju Indonesia Emas 2045, kepemimpinan di semua lini, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, harus berani bertransformasi. Transformasi itu dilakukan dengan meneladani ketiga watak fundamental yang telah dipraktikkan di Berahan Wetan
Pertama, Kepemimpinan Berintegritas yang Anti-Korupsi. Kebijakan Kepala Desa Berahan Wetan mengalokasikan APBDes untuk insentif guru non-formal adalah sebuah terobosan birokrasi yang brilliant. Ia memutus mata rantai birokrasi yang lamban dan berbelit. Yang dilakukan adalah birokrasi yang melayani, bukan dilayani. Legitimasi kekuasaan (umara) digunakan secara transparan dan akuntabel untuk mendukung otoritas moral (ulama).
Dalam konteks yang lebih luas, ini berarti seorang pemimpin—apakah itu Menteri, Depala Dinas, Kakanwil, Rektor, Kepala Sekolah/Madrasah—harus memiliki keberanian moral. Keberanian untuk menggunakan anggaran dan kebijakannya secara kreatif, transparan, dan bebas dari segala bentuk korupsi. Mereka harus berani membuat terobosan prosedural untuk kemaslahatan publik. Transparansi harus menjadi obat utama yang memberangus praktik suap dan mark-up anggaran.
Kedua, Kepemimpinan Bersahaja yang Anti-Hedon. Spirit yang terlihat dari para pemimpin Berahan Wetan adalah kesederhanaan dan ketulusan dalam melayani. Mereka tidak menjadikan kekuasaan sebagai simbol status atau alat untuk menumpuk kemewahan duniawi. Pola hidup hemat dan sederhana yang mereka jalankan adalah cerminan nyata dari kepemimpinan yang anti-hedonisme.
Mereka memahami bahwa amanah kepemimpinan adalah ibadah, bukan jalan untuk hidup bermewah-mewah. Inilah teladan yang sangat dibutuhkan di tengah maraknya gaya hidup glamor dan konsumtif di kalangan elite. Kepemimpinan pendidikan harus kembali kepada esensinya: melayani dengan ikhlas, memprioritaskan kepentingan umat, dan menjauhi segala bentuk pemborosan anggaran.
Ketiga, Kepemimpinan Substantif yang Anti-Pencitraan. Apa yang dibangun di Berahan Wetan adalah kejujuran dan keikhlasan. Hasilnya adalah peningkatan mutu pendidikan yang nyata, bukan sekadar proyek pencitraan. Mereka tidak sibuk membangun fisik sekolah yang megah tapi abai terhadap kesejahteraan guru dan kualitas kurikulum.
Kepemimpinan yang anti-pencitraan ini fokus pada substansi: membangun karakter anak didik, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memberdayakan masyarakat. Bagi Indonesia Emas, pemimpin pendidikan harus diukur dari sejauh mana mereka berinvestasi pada manusia (human investment), bukan pada baliho dan pamphlet. Keberhasilan bukan dilihat dari banyaknya kegiatan yang dipublikasikan di media sosial, melainkan dari dampak nyata yang dirasakan oleh masyarakat paling akar rumput.
Dengan demikian, Berahan Wetan telah memancarkan tiga watak kepemimpinan pendidikan yang menjadi pilar menuju Indonesia Emas. Tiga watak itu adalah integritas yang anti-korupsi, kesederhanaan yang anti-hedon, dan kejujuran yang anti-pencitraan. Ketiganya adalah kristalisasi dari nilai-nilai Siddiq (jujur), Amanah (terpercaya), Tabligh (komunikatif-tansparan), dan Fathanah (cerdas) dalam kepemimpinan Rasulullah.
Inilah operating system yang harus di-install pada setiap level kepemimpinan kita. Mulai dari ruang rapat dewan guru di MI/SD, MTs/SMP, MA/SMA/SMK, hingga senat dan rektorat di perguruan tinggi. Jika ini diwujudkan, maka Indonesia Emas 2045 bukan sekadar impian, tetapi sebuah takdir yang dirajut dengan keteladanan dari desa-desa seperti Berahan Wetan sampai seluruh Indonesia.
Menuju Kebijakan yang Memberdayakan
Oleh karena itu, di momentum Maulid Nabi yang penuh berkah ini, saya ingin mengajak para pemimpin di semua level, dari pusat hingga desa, untuk meneladani spirit kepemimpinan Nabi. Kepemimpinan yang tidak hanya berwibawa secara jabatan, tetapi juga tulus dalam melayani. Spirit yang telah dibuktikan oleh para pemimpin di Berahan Wetan. Teladan itu sudah ada di depan mata, kini saatnya kita mengambil tindakan nyata.
Untuk itu, beberapa rekomendasi kebijakan konkret perlu didorong. Pertama, kepada Kementerian Desa PDTT untuk memperkuat panduan penggunaan dana desa (APBDes), dengan memberikan porsi khusus yang jelas untuk program pemberdayaan pendidikan keagamaan yang melibatkan sinergi strategis antara ulama dan umara. Kedua, kepada Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri untuk membuat nota kesepahaman (MoU) tentang pembinaan kepemimpinan tandem ulama-umara tingkat desa melalui pelatihan dan forum dialog.
Ketiga, kepada Pemerintah Daerah untuk memasukkan indikator sinergi dengan tokoh agama dan keberhasilan program pendidikan berbasis kemaslahatan ke dalam penilaian kinerja kepala desa. Ini akan menjadi insentif struktural untuk menduplikasi kesuksesan Berahan Wetan. Kisah dari desa ini membuktikan bahwa teladan Rasulullah SAW tidaklah usang; ia masih hidup, relevan, dan dipraktikkan dengan penuh makna di tingkat akar rumput.
Di hari yang mulia ini, mari kita jadikan semangat Maulid Nabi sebagai momentum untuk bangkit dan berbenah. Marilah kita tiru keteladanan Nabi dengan menjadi pemimpin yang lebih baik, dimulai dari lingkungan terdekat kita. Semoga dari desa-desa seperti Berahan Wetan, akan lahir cahaya-cahaya peradaban baru untuk masa depan Indonesia yang lebih berkarakter dan bermartabat. . Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb.
(Tulisan ini diinspirasi hasil disertasi Dr. Bisri Purwanto, Dosen STAI Syekh Jangkung Pati, yang berjudul “Kepemimpinan Ulama dan Umara dalam Pengembangan Pendidikan Islam di Desa Berahan Wetan, Kabupaten Demak” yang dipertahankan di UIN Walisongo Semarang pada Juli 2025)
Dr. A. Umar, MA (Dosen FITK UIN Walisongo Semarang)
Apa Reaksi Anda?






