Kisah ASN Madrasah Jaga Bumi dalam Spirit Ekoteologi

Di bawah langit cerah pagi itu, tangan-tangan para ASN tampak sibuk menanam pohon di lahan madrasah. Tanah digali, bibit disiapkan, akar ditanam, air disiram. Semua dilakukan bukan sekadar menjalankan tugas seremonial, tetapi dengan semangat tulus yang mengalir dari dalam hati. Di balik aktivitas fisik itu, ada misi spiritual yang lebih dalam yakni menumbuhkan kesadaran, menyuburkan iman, dan menyambung kembali relasi manusia dengan alam sebagai ciptaan-Nya.
Saya menyaksikan langsung momentum ini di tempat saya mengabdi: MAN 1 Mojokerto. Dalam semangat pengabdian dan cinta lingkungan, 19 PPPK dan 1 CPNS formasi 2024 penempatan madrasah kami bersama-sama melaksanakan Program Ekoteologi yang digagas oleh Menteri Agama RI, Bapak Nasaruddin Umar. Awalnya saya sama sekali awam dengan istilah Ekoteologi. Saya tidak tahu apa maknanya, apalagi hubungannya dengan profesi saya sebagai guru. Namun, rasa ingin tahu membawa saya pada pemahaman yang membuka mata bahwa ekoteologi menjaga bumi adalah bagian dari ibadah.
Kegiatan pagi itu pun tak berhenti di tanah dan tangan. Momen penuh makna ini diabadikan dalam video singkat dan dibagikan di media sosial pribadi seperti Instagram dan TikTok. Tanpa disangka, video yang menampilkan senyum tulus para ASN Kemenag 2024 saat menanam pohon dengan penuh semangat itu justru masuk FYP dan mendapat respons positif dari warganet. Dari situ saya belajar, bahwa aksi kecil yang dilakukan dengan hati bisa menjangkau lebih luas dan menyentuh lebih banyak jiwa bahkan di ruang digital yang sering kita anggap dingin.
Sebagai guru sekaligus ASN di lingkungan madrasah, saya tersentuh. Bukan hanya karena hijaunya bibit yang kami tanam, tetapi karena saya menemukan makna baru dalam profesi saya. Mendidik berarti menanam nilai, menumbuhkan kepedulian, dan menyalakan kesadaran akan tanggung jawab spiritual terhadap bumi yang menjadi rumah bersama. Ekoteologi, yang dulu terasa asing bagi saya, kini menjelma menjadi cermin yang memantulkan kembali tujuan sejati kita sebagai pendidik dan hamba-Nya. Saya pun mulai membaca alam sebagai ayat Tuhan.
Membaca Alam sebagai Ayat Tuhan
Bagi orang yang beriman, alam bukan sekadar ruang hidup. Ia adalah mushaf terbuka, kitab tak bertinta yang memuat pesan-pesan suci dari Sang Pencipta. Angin yang berembus, hujan yang turun, gunung yang menjulang, dan pohon yang tumbuh. Semuanya adalah ayat-ayat Allah yang bisa dibaca oleh hati yang bersih.
Ketika pohon ditebang sembarangan, air sungai dicemari, udara dikotori, atau tanah dieksploitasi tanpa belas kasih, sesungguhnya bukan hanya ekosistem yang rusak. Lebih dari itu, amanah ilahi telah dikhianati. Allah Swt. telah berfirman dalam QS. Ar- Rum ayat 41: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia…”
Ayat ini tidak hanya menjadi teguran, tapi juga ajakan reflektif: bahwa krisis lingkungan bukan semata musibah alamiah, tapi akibat dari kelalaian manusia dalam menjaga keseimbangan. Menjaga lingkungan bukan hanya urusan duniawi atau program kerja tahunan, melainkan bagian dari ibadah, bagian dari wujud keimanan yang hidup.
Dalam Al-Qur’an, Allah Swt. menegaskan peran manusia sebagai khalifah di bumi sebagaimana tertulis dalam QS. Al-Baqarah ayat 30: "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
Ayat ini bukan hanya deklarasi kehormatan, tetapi juga penegasan tanggung jawab. Sebagai khalifah, manusia tidak diberi kuasa mutlak untuk mengeksploitasi alam, melainkan diberi mandat untuk mengelola, menjaga, dan merawat ciptaan-Nya dengan bijaksana. Menjadi khalifah berarti menjadi wakil Tuhan dalam menciptakan harmoni, bukan justru menjadi penyebab kerusakan. Oleh karena itu, setiap upaya menjaga lingkungan sejatinya adalah bentuk pengabdian spiritual, bagian dari tugas suci yang dititipkan langsung oleh Sang Pencipta.
Sebagai guru madrasah, saya percaya bahwa tugas mendidik harus merasuk ke ranah tersebut. Di dalam kelas, saya tidak sekadar menyampaikan materi. Saya juga berusaha menyentuh kesadaran batin siswa. Saya ingin mereka tidak hanya menjadi siswa yang cerdas, tetapi juga insan yang peka dan peduli terhadap lingkunan. Madrasah bukan sekadar tempat menimba ilmu, tetapi taman tempat tumbuhnya nilai dan kesadaran ekologis yang berakar pada spiritualitas.
Menjalankan Kiprah ASN Madrasah dalam Menjaga Bumi
Di balik gemuruh kelas yang penuh semangat belajar, di balik papan tulis yang tak henti menuliskan ilmu, ada sebuah perjuangan menjaga bumi. ASN madrasah, yang selama ini dikenal sebagai pilar pendidikan keagamaan dan moral, ternyata juga memiliki kiprah atau peran penting sebagai edukator nilai-nilai lingkungan. Saya bukan hanya pengajar di ruang kelas, tetapi juga penggerak perubahan dalam upaya menyelamatkan alam. Dari sebatang pohon yang ditanam di halaman madrasah hingga sebaris kalimat penuh makna tentang cinta bumi yang ditulis siswa, semua bermula dari keteladanan dan kesadaran ASN yang terus menyala.
Sebagai pendidik, ASN madrasah memegang peran kunci dalam membentuk pola pikir dan karakter generasi muda. Sebagai guru Bahasa Indonesia, saya menyisipkan isu- isu lingkungan, mengajak siswa merenungi kisah banjir dan kekeringan dalam kajian teks eksplanasi, menggali kajian ilmiah tentang lingkungan dalam karya tulis ilmiah, hingga menulis puisi yang merintih tentang lingkungan yang kian mengalami kerusakan. Dengan cara ini, para ASN menumbuhkan ekoteologi, ajaran yang menghubungkan antara cinta pada Tuhan dan kepedulian terhadap ciptaan-Nya.
Pendidikan tak cukup hanya dengan kata-kata. ASN madrasah menghidupkan nilai itu dalam tindakan. Mereka menjadi teladan perilaku ramah lingkungan, membawa botol minum sendiri, menggunakan tas kain, mengurangi sampah plastik, hingga berjalan kaki atau bersepeda saat memungkinkan. Dalam kesederhanaan itu, mereka mengirim pesan yang kuat, mencintai bumi dimulai dari kebiasaan kecil yang konsisten. Di madrasah, mereka mendorong perilaku hemat energi dan air, serta aktif dalam kegiatan kebersihan dan penghijauan. Keteladanan ini lebih tajam daripada seribu kata, ia membentuk karakter siswa yang tidak hanya pintar, tapi juga peduli.
Tak berhenti di sana, para ASN madrasah pun menjadi penggerak dalam membangun budaya lingkungan hidup di madrasah. Mereka menggagas program madrasah adiwiyata yang bukan hanya mempercantik halaman, tapi juga memperkaya jiwa. Ada taman hijau tempat siswa bisa belajar sambil mendengar desir angin, ada bank sampah yang mengajarkan nilai ekonomi dari barang tak terpakai, dan ada kelas terbuka yang menghadirkan suasana belajar yang menyatu dengan alam. Mereka juga membuka ruang kolaborasi, mengundang komunitas lingkungan, bekerjasama dengan lembaga terkait, hingga membangun jejaring untuk aksi yang lebih luas dan berkelanjutan.
Di era digital, peran ASN madrasah pun meluas sebagai penyebar kesadaran ekologis. Mereka tidak segan membagikan dokumentasi kegiatan lingkungan di media sosial, memanfaatkan platform untuk menyampaikan pesan yang menyentuh hati dan menggugah kesadaran. Mereka menjadi narasumber, penulis opini, bahkan mentor dalam berbagai kegiatan bertema lingkungan. Lewat kalimat-kalimat yang ditulis dengan nurani, mereka mengajak masyarakat merenung dan bergerak. Karena menjaga bumi bukan tugas segelintir orang, tetapi tanggung jawab bersama yang harus dihidupkan setiap hari.
Seluruh peran ini berpuncak pada pelaksanaan program ekoteologi yang dicanangkan oleh Kementerian Agama. Di sinilah, ASN madrasah menjelma sebagai penjaga nilai-nilai spiritual yang membumi. Mereka mengajarkan bahwa merawat lingkungan adalah bentuk keimanan, ekspresi syukur atas nikmat Tuhan, dan salah satu wujud ibadah yang tak kalah pentingnya dengan ritual harian. Madrasah tidak hanya menjadi tempat belajar, tapi juga taman iman yang tumbuh subur dengan semangat cinta lingkungan. Kelima peran ASN Madrasah tersebut secara ringkas tergambar dalam infografik berikut.
Refleksi ASN Madrasah: Bumi, Doa, dan Amanah
Menjadi ASN sering kali dipersepsikan sebatas menjalankan tugas administratif. Tapi bagi saya, status ASN adalah panggung yang memungkinkan kita menyebar pengaruh. Setiap tindakan, bahkan yang paling sederhana, bisa menjadi inspirasi dan teladan.
Saya memulainya dari langkah kecil: menggunakan botol minum isi ulang, membawa tempat makan sendiri saat pelatihan, menggunakan transportasi bersama saat dinas luar, dan meminimalkan penggunaan kertas dalam administrasi. Mungkin terlihat sepele, tapi dari hal-hal kecil itulah budaya baru tumbuh.
Saya bersama rekan-rekan guru dan tenaga kependidikan untuk membangun budaya cinta lingkungan. Madrasah pun bertransformasi menjadi ruang yang tak hanya cerdas, tetapi juga ramah lingkungan. Sebuah taman tempat iman dan ekologi berpadu. Seringkali, menjaga lingkungan terdengar seperti tugas besar yang memerlukan anggaran besar atau kebijakan pemerintah. Namun sesungguhnya, perubahan besar bisa dimulai dari tindakan kecil yang dilakukan dengan niat tulus.
Ketika seorang guru mengajak siswanya menanam pohon, ketika seorang ASN memilih menolak plastik, ketika seorang anak memungut sampah di halaman madrasah tanpa diminta, di situlah doa-doa untuk bumi dipanjatkan dalam wujud yang paling nyata. Kita tidak harus menjadi pahlawan untuk bumi. Kita hanya perlu tidak menjadi perusaknya. Setiap botol minum yang kita gunakan kembali, setiap plastik yang kita tolak, setiap lembar kertas yang kita hemat, adalah bagian dari ibadah sunyi yang membawa kehidupan.
Saya percaya, jika setiap ASN, setiap guru, setiap siswa, dan setiap orang tua menyadari bahwa bumi ini adalah amanah suci, maka kita tak hanya sedang menjaga lingkungan. Kita sedang menjaga warisan iman untuk anak cucu kita kelak. “Bumi tidak meminta kita menjadi pahlawan, ia hanya berharap kita bersikap bertanggung jawab.” Dan tanggung jawab itu bisa dimulai dari kepedulian yang kita tanam hari ini dengan iman, cinta, dan harapan. Salam Literasi dan Salam Lestari.
Binti Mariatul Kiptiyah (Guru MAN 1 Mojokerto)
Apa Reaksi Anda?






