Jumat Barokah sebagai Praktik Keberdayaan Masyarakat
Selama kurang lebih 2 atau 3 tahun terakhir, fenomena “Jumat Barokah” semakin marak di berbagai wilayah Indonesia. Program ini sepertinya dilakukan secara spontan oleh banyak pelaku usaha kecil dan ultra mikro, khususnya sektor kuliner, dengan memberikan potongan harga atau bahkan pembagian produk secara gratis setiap hari Jumat. Fenomena ini menarik untuk dipahami bukan sekadar sebagai strategi marketing bernuansa religius, tetapi juga sebagai ekspresi keberdayaan masyarakat yang unik—menggabungkan aspek ekonomi, spiritual, dan sosial.
Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia tahun 2023, jumlah pelaku UMKM Indonesia mencapai 65,5 juta unit usaha, dan lebih dari 98,7% di antaranya tergolong usaha mikro dan kecil, dengan kontribusi sebesar 60,5% terhadap PDB nasional. Sekitar 30% pelaku UMKM aktif dalam kegiatan berbasis komunitas dan keagamaan sebagai strategi memperkuat basis pelanggan dan solidaritas sosial. Fenomena Jumat Barokah muncul dalam lanskap ini sebagai salah satu bentuk praksis sosial-ekonomi di tingkat akar rumput.
Praktik Jumat Barokah
Sebagai contoh nyata, praktik ini dapat ditemukan pada pelaku usaha kuliner kecil di wilayah urban maupun semi-perkotaan. Misalnya, penjual teh manis di salah satu kawasan permukiman: harga normal produk mereka berkisar Rp4.000–Rp5.000 per gelas, namun pada hari Jumat mereka menjualnya hanya Rp2.500 untuk ukuran yang sama. Pola serupa juga terjadi pada pedagang bubur, gorengan, dan jajanan lainnya.
Data lapangan dari observasi terbatas di sepanjang jalan dari Kota Bogor ke Ciputat (Oktober 2025) menunjukkan: Kebanyakan pelaku usaha mikro di sektor kuliner menerapkan diskon atau harga khusus Jumat Barokah. Di mana rata-rata penurunan harga mencapai 30–50%, atau pemberian “bonus pembelian” seperti satu gelas gratis. Meskipun margin keuntungan menurun pada hari tersebut, volume pembelian meningkat 1,5–2 kali lipat, sehingga sebagian besar pelaku tetap memperoleh pendapatan stabil atau sedikit lebih tinggi dibandingkan hari biasa.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa Jumat Barokah tidak semata praktik sedekah, tetapi juga strategi ekonomi kolektif yang memperkuat daya tawar dan jejaring sosial pelaku usaha kecil. Jika dibaca menggunakan Teori Foucault (1926-1984), kekuasaan tidak hanya terpusat dalam negara atau lembaga formal, tetapi terdistribusi dalam praktik sosial sehari-hari (microphysics of power). Dalam konteks Jumat Barokah, praktik potongan harga dan pemberian gratis bukanlah bentuk kerentanan, tetapi justru arena distribusi kuasa simbolik yang muncul dari pelaku usaha kecil terhadap lingkungannya.
Adapun beberapa bentuk relasi kuasa yang dapat diidentifikasi: Pertama, kuasa simbolik-spiritual dalam bentuk tindakan pelaku usaha memperoleh legitimasi sosial karena diasosiasikan dengan nilai religius (amal, sedekah, keberkahan); Kedua, kuasa ekonomi sosial. Di mana pelaku usaha kecil membentuk loyalitas konsumen melalui praktik berbagi. Ketiga, kuasa pengetahuan (discourse), sebab pemaknaan istilah “barokah” menjadi discursive practice—ia menanamkan makna sosial tentang kebaikan, kemurahan hati, dan solidaritas dalam ruang publik.
Dengan kata lain, diskursus Jumat Barokah membentuk subjek yang “berdaya” bukan karena kekayaan materialnya, tetapi karena kemampuan mereka mengatur relasi sosial-ekonomi dan moral dalam komunitasnya.
Dimensi Keberdayaan Masyarakat
Selain itu, Jumat Barokah juga memantulkan ‘Tindakan Bermakna’ Weberian dalam pemberdayaan masyarakat tidak hanya mengacu pada peningkatan taraf hidup secara ekonomi, tetapi juga penguatan kesadaran sosial dan spiritual. Hal ini dikarenakan Jumat Barokah berperan sebagai: (1) Media partisipatif masyarakat kelas bawah dan menengah dalam menjadi pelaku aktif dalam membentuk kultur sosial; (2) Ruang transformasi kesadaran yang mewujud pada praktik ekonomi dipahami bukan sekadar jual beli, tetapi ibadah sosial; (3) Instrumen inklusif karena mampu menjangkau konsumen dari berbagai lapisan sosial tanpa diskriminasi.
Dengan model ini, pemberdayaan masyarakat tidak berhenti pada peningkatan pendapatan, tetapi juga membangun etos berbagi, solidaritas sosial, dan kesadaran kolektif yang berakar pada nilai keagamaan.
Kemudian banyak pelaku Jumat Barokah berasal dari kalangan kelas menengah ke bawah—dengan rata-rata omzet harian antara Rp 200.000–Rp500.000. Namun mereka tetap menyediakan sebagian penghasilan atau margin usaha untuk dibagikan. Hal ini menunjukkan adanya transformasi struktur peluang sosial.
Tabel fenomena praktik ini menunjukkan bahwa penurunan margin tidak selalu berarti kerugian, melainkan investasi dalam modal sosial dan simbolik jangka panjang. Dengan kacamata Foucaultian, Jumat Barokah adalah ruang resistensi mikro terhadap dominasi pasar neoliberal yang menekankan rasionalitas untung-rugi.
Para pelaku usaha kecil ini sukses menggeser logika ekonomi menjadi logika kebaikan sosial (social goodness), yang membentuk: (1) new subjectivities — pedagang bukan sekadar pelaku pasar, tetapi juga aktor moral; (2) new power relations — kekuasaan tersebar dalam interaksi sosial, bukan hanya struktur formal; (3) new discourse — “barokah” menjadi perangkat makna yang mengatur relasi sosial dan ekonomi.
Dengan demikian, Jumat Barokah adalah bentuk pemberdayaan masyarakat yang organik, tumbuh dari bawah, dan berakar pada kultur sosial-religius lokal. Ia memperlihatkan bagaimana praktik ekonomi mikro dapat menjadi arena produksi kekuasaan dan transformasi sosial.
Selain itu, fenomena Jumat Barokah membuktikan bahwa pemberdayaan masyarakat tidak selalu datang dari intervensi negara atau lembaga besar, tetapi dapat muncul dari inisiatif ekonomi kecil yang terhubung dengan kesadaran spiritual. Praktik ini menunjukkan bahwa kekuasaan dalam masyarakat tersebar, dinegosiasikan, dan dimaknai ulang dalam ruang-ruang sosial sehari-hari.
Tantan Hermansah
(Pengajar Sosiologi Perkotaan di Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam UIN Jakarta)
Apa Reaksi Anda?
Suka
0
Tidak Suka
0
Cinta
0
Lucu
0
Marah
0
Sedih
0
Wow
0

