Bulan Kitab Suci Nasional Umat Katolik dan Relasi yang Menyembuhkan

Sep 4, 2025 - 11:52
Sep 4, 2025 - 11:52
 0  0
Bulan Kitab Suci Nasional Umat Katolik dan Relasi yang Menyembuhkan

Setiap bulan September, umat Katolik di Indonesia merayakan Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN). Tahun 2025 ini, tema yang diusung adalah “Allah Sumber Pembaruan Relasi dalam Hidup” dengan penekanan dan berinspirasi pada Kitab Zakharia dan Kitab Maleakhi.

Tema ini mengingatkan umat Katolik bahwa Allah hadir bukan hanya untuk mendampingi umat-Nya, tetapi juga untuk membaharui, merajut kembali, dan menyembuhkan relasi-relasi yang rusak: relasi dengan Allah, relasi diri sendiri dan dengan sesama, serta relasi dengan lingkungan hidup.

Mengapa pembaruan relasi ini menjadi penting? Karena hidup manusia tidak pernah berlangsung sendirian. Manusia selalu berada dalam jalinan relasi: dengan Tuhan yang menciptakan kita, dengan sesama yang menjadi rekan seperjalanan, serta dengan alam semesta yang menopang keberlangsungan hidup kita. Ketika relasi-relasi ini harmonis, hidup akan terasa damai.

Namun, ketika relasi-relasi ini rusak, kehidupan menjadi sarat dengan kekecewaan, pertentangan, bahkan penderitaan.

Suara para Nabi

Kitab Zakharia dan Maleakhi lahir dari situasi bangsa Israel pasca-pembuangan, saat umat masih mencari arah hidup baru. Mereka telah kembali ke tanah airnya, tetapi situasi belum membaik. Kekecewaan, ketidakadilan, dan keletihan rohani begitu terasa.

Dalam situasi itu, para nabi berbicara lantang bahwa Allah tidak meninggalkan mereka. Sebaliknya, Allah menghendaki agar umat memperbarui hidup, membangun keadilan, serta memulihkan persekutuan.

Nabi Zakharia menegaskan: “Beginilah firman Tuhan semesta alam: Laksanakanlah hukum yang benar dan tunjukkanlah kesetiaan dan kasih sayang kepada masing-masing! Janganlah menindas janda dan anak yatim, orang asing dan orang miskin, dan janganlah merancang kejahatan dalam hatimu terhadap masing-masing” (Za. 7:9-10). Pesan ini jelas: relasi dengan Allah tidak bisa dipisahkan dari keadilan sosial.

Demikian pula Nabi Maleakhi mengingatkan tentang kesetiaan dan keadilan dalam relasi manusia: “Bukankah kita sekalian mempunyai satu Bapa? Bukankah satu Allah yang menciptakan kita? Lalu mengapakah kita berkhianat seorang terhadap yang lain dan menajiskan perjanjian nenek moyang kita?” (Mal. 2:10). Maleakhi menekankan bahwa rusaknya relasi dengan sesama sama artinya dengan mengkhianati Allah sendiri.

Pesan profetis ini terasa amat relevan dengan situasi bangsa kita hari ini. Relasi antara rakyat dan pemerintah kerap mengalami keretakan. Masyarakat sering merasa ditinggalkan, bahkan dikhianati, ketika kebijakan negara tidak berpihak kepada mereka. Relasi yang seharusnya penuh kepercayaan dan pengayoman justru dipenuhi dengan luka-luka.

Relasi yang Retak

Beberapa contoh konkret dapat kita saksikan. Pertama, relasi yang renggang akibat kebijakan yang dirasa kurang berpihak. Tahun ini, harga beras dan kebutuhan pokok melonjak tajam. Rakyat kecil menjerit karena sulit memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kedua, relasi yang luka karena krisis kepercayaan. Kasus korupsi masih marak, bahkan melibatkan pejabat publik dan aparat negara. Bagaimana mungkin rakyat percaya ketika dana bantuan sosial, yang seharusnya menyelamatkan kelompok miskin, justru diselewengkan untuk kepentingan pribadi?

Kata-kata tentang keadilan sosial menjadi kehilangan makna ketika tidak sejalan dengan kenyataan. Luka ini menumpuk dan membangun tembok ketidakpercayaan yang tebal.

Ketiga, relasi yang rapuh karena minimnya dialog. Kita dapat melihat contohnya dalam proyek foodestate yang mengalihfungsikan hutan di Kalimantan dan Sumatra. Alih-alih membuka ruang dialog yang sehat dengan masyarakat lokal dan pemerhati lingkungan, pemerintah lebih menekankan pada percepatan investasi.

Akibatnya, rakyat merasa kurang didengarkan dan diperlakukan dengan baik. Lingkungan pun rusak, dan generasi mendatang kehilangan warisan alam yang berharga.

Contoh-contoh di atas memperlihatkan bahwa krisis relasi bukan hanya soal komunikasi, melainkan persoalan keadilan dan kesetiaan. Ketika rakyat diperlakukan sebagai angka statistik, bukan sebagai pribadi dengan martabat, relasi akan retak.

Ketika alam dianggap hanya sebagai bahan eksploitasi, bukan ciptaan Allah yang harus dijaga, relasi dengan lingkungan pun hancur. Dan ketika keadilan dikorbankan demi keuntungan segelintir orang, relasi dengan Allah ikut ternoda.

Di sinilah makna Bulan Kitab Suci Nasional menjadi sangat mendesak. BKSN bukan sekadar kegiatan rohani rutin yang diwarnai dengan doa bersama atau lomba membaca Kitab Suci. Ia adalah undangan bagi umat Katolik untuk membaca tanda-tanda zaman dan menimba inspirasi dari sabda Allah. Undangan bagi umat Katolik untuk membangun relasi sejati dengan tindakan kasih yang nyata dalam hidup menggereja, berbangsa dan bermasyarakat.

Umat Katolik dan semua orang yang berkehendak baik diajak untuk mendengarkan jeritan rakyat yang menderita, mendengar tangisan bumi yang dieksploitasi, dan menyadari bahwa semua itu adalah panggilan untuk bertobat.

Memulihkan Relasi

​​​​​​​Relasi yang menyembuhkan hanya mungkin lahir jika semua berani kembali kepada Allah, Sang Sumber Relasi dan Cinta Kasih. Relasi itu ditandai dengan keadilan, kejujuran, dan kasih yang nyata.

Pemerintah yang sungguh mendengar jeritan rakyat akan melahirkan kebijakan yang berpihak pada yang lemah. Rakyat yang peduli akan membangun solidaritas, bukan sekadar menyalahkan atau malah merendahkan. Dan seluruh masyarakat yang setia menjaga alam akan memastikan bumi tetap ramah bagi generasi mendatang.

Kitab Zakharia dan Maleakhi pada akhirnya mengajak umat untuk kembali pada inti: pertobatan dan pembaruan. Tanpa pertobatan, relasi yang rusak hanya akan semakin retak. Tanpa pembaruan, luka-luka sosial hanya akan diwariskan pada generasi berikutnya.

Tetapi bila kita berani kembali kepada Allah (Za.1:3), memperbarui hidup dengan kesetiaan dan keadilan, maka relasi yang rusak bisa dipulihkan, luka bisa disembuhkan, dan hidup bersama bisa kembali menemukan maknanya.

Bulan Kitab Suci Nasional tahun ini menjadi kesempatan emas bagi umat Katolik untuk merenungkan hal tersebut. Semoga Sabda Allah dalam Kitab Suci menyapa hati, bukan hanya untuk menenangkan batin, tetapi juga untuk menggerakkan tindakan kasih yang nyata. Relasi dengan Allah tidak boleh berhenti di ruang doa; ia harus menjelma menjadi keadilan sosial, kepedulian lingkungan, dan solidaritas dengan sesama.

Dengan demikian, kita akan sungguh merasakan bahwa Allah adalah sumber pembaruan relasi dalam hidup kita. Dan dari relasi yang diperbarui itu, lahirlah kehidupan yang lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih selaras dengan ciptaan.

Pormadi Simbolon, Pembimas Katolik Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Banten

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0