Aswaja Benteng Akidah, Penjaga Moderasi Umat
Di tengah derasnya arus ideologi global dan derasnya pertarungan tafsir keislaman di dunia maya, Ahlusunnah wal Jama‘ah (Aswaja) tetap berdiri sebagai poros penyeimbang umat. Ia bukan sekadar mazhab teologis, tetapi sistem peradaban yang menjaga keseimbangan antara kemurnian akidah dan kelapangan hati dalam hidup bersama.
Di tanah Jawa, rumah besar Aswaja itu berwujud pesantren, lembaga yang tidak hanya melahirkan ulama, tetapi juga menanamkan adab, kebijaksanaan, dan cinta damai. Pesantren adalah menara peradaban yang menuntun umat agar tidak hanyut oleh arus ekstremisme dan kebencian yang kerap menyaru dalam jubah agama.
Dalam dua dekade terakhir, hubungan antara Sunni dan Syi‘ah di Indonesia mengalami dinamika yang berlapis. Di setiap peristiwa, Aswaja hadir sebagai penyeimbang, meneguhkan iman tanpa menyalakan api kebencian.
Pertama, Sampang, Madura (2012). Konflik di sana menjadi luka sosial yang menoreh sejarah. Perbedaan teologi berubah menjadi bentrokan fisik, menelan korban dan memaksa ratusan orang mengungsi. Namun dari tragedi itu, para ulama Aswaja belajar bahwa benteng aqidah tidak bisa ditegakkan dengan amarah. Mereka kembali menguatkan pendidikan akhlak, menanamkan kesadaran bahwa menjaga aqidah harus disertai hikmah dan kasih.
Kedua, Yogyakarta (2013). Di kota yang dikenal sebagai simpul intelektual Islam, muncul ketegangan terkait aktivitas kajian Syi‘ah. Konflik ini tidak berdarah, tetapi terjadi di ruang wacana. Para ulama Aswaja di sana merespons dengan argumentasi, bukan pelarangan. Mereka membuka forum bahtsul masail, menghidupkan dialog, dan menegaskan pentingnya sanad keilmuan sebagai penentu legitimasi tafsir. Aswaja menunjukkan bahwa rasionalitas Islam dapat berjalan seiring dengan kesetiaan terhadap tradisi.
Ketiga, Jepara (2023). Gesekan antarjamaah muncul kembali, tetapi tidak berkembang menjadi kekerasan. Para kiai NU dan tokoh Aswaja bertindak sebagai mediator sosial. Mereka memperkuat ukhuwah, memperbanyak majelis ilmu, dan menegaskan bahwa persaudaraan Islam jauh lebih utama daripada perdebatan mazhab. Inilah hasil nyata pendidikan Aswaja, umat yang matang secara spiritual dan dewasa dalam sosial.
Dalam pandangan Aswaja, mempertahankan kemurnian aqidah bukan berarti menutup diri dari perbedaan, tetapi menempatkan perbedaan dalam bingkai ilmu dan adab. Pesantren menjadi benteng epistemologis yang menjaga nalar keagamaan umat agar tidak terjebak pada fanatisme buta.
Sanad keilmuan atau rantai guru dan murid yang bersambung hingga Rasulullah, adalah sumber legitimasi Aswaja. Melalui kitab klasik seperti Ihya’ Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali dan Adab al-‘Alim wal Muta‘allim karya Hadratussyaikh Hasyim Asy‘ari, para santri belajar bahwa beragama bukan sekadar memahami hukum, tetapi juga menumbuhkan kebijaksanaan.
Ketika media sosial melahirkan ribuan “ustaz instan” tanpa akar sanad, pesantren tetap setia pada disiplin ilmu dan akhlak. Dakwah Aswaja hadir dengan bil hikmah wal mau‘izhah al-hasanah, mengajak dengan kebijaksanaan dan keteladanan. Moderasi yang diajarkan bukan kompromi terhadap kebenaran, tetapi cara cerdas menjaga iman agar tidak berubah menjadi kebencian.
Kekuatan Aswaja terletak pada kemampuannya menyalurkan dakwah melalui budaya. Tradisi tahlilan, manaqiban, haul, dan maulid bukan sekadar ritual, tetapi wahana pendidikan sosial dan spiritual. Tradisi itu menanamkan cinta kepada Nabi, memperkuat silaturahmi, dan meneguhkan solidaritas umat.
Ketika sebagian pihak menuduhnya sebagai bid‘ah, masyarakat Aswaja justru menjadikannya benteng budaya. Tradisi itu menjadi ekspresi iman yang lembut, yang menolak kekerasan atas nama purifikasi. Dakwah Aswaja adalah dakwah kasih saying melawan ekstremisme bukan dengan kemarahan, tetapi dengan kebudayaan yang menenteramkan.
Program Moderasi Beragama yang dijalankan oleh Kementerian Agama sebenarnya merupakan manifestasi dari nilai-nilai Aswaja yang telah hidup lama di bumi Nusantara. Prinsip tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), dan tasamuh (toleran) kini terinstitusionalisasi dalam kebijakan publik. Negara dan pesantren berjalan dalam satu nafas, negara menjaga struktur, Aswaja menjaga ruh.
Namun moderasi tidak boleh kehilangan arah. Toleransi tanpa iman hanya menjadi slogan sosial, sementara iman tanpa moderasi dapat berubah menjadi bara sektarian. Aswaja menegakkan keseimbangan di antara keduanya menjadi jembatan antara aqidah yang tegas dan kemanusiaan yang lembut.
Tantangan baru muncul dari dunia digital dan modernisasi nilai. Generasi muda Muslim kini hidup di tengah banjir informasi dan opini tanpa otoritas. Karena itu, Aswaja harus terus memperkuat kaderisasi ulama muda yang mampu berdialog dengan zaman tanpa kehilangan akar.
Selama pesantren tetap hidup, sanad tetap bersambung, dan adab tetap didahulukan sebelum debat, maka Islam di Nusantara akan terus menjadi sumber keteduhan dunia.
Aswaja telah membuktikan bahwa moderasi bukan kelemahan, melainkan kecerdasan spiritual. Ia adalah cara Islam menjaga kemuliaan Tuhan dalam kemanusiaan. Selama Aswaja berdiri, umat ini tidak akan kehilangan arah.
Jemmy Ibnu Suardi (Peneliti Pemikiran Islam Nusantara)
Apa Reaksi Anda?
Suka
0
Tidak Suka
0
Cinta
0
Lucu
0
Marah
0
Sedih
0
Wow
0

