Setelah Jeruji Mereka Ingin Pulih, Catatan Penyuluh Agama Katolik

Nov 1, 2025 - 12:53
Nov 1, 2025 - 12:53
 0  0
Setelah Jeruji Mereka Ingin Pulih, Catatan Penyuluh Agama Katolik

Setiap minggu sesuai jadwal, para penyuluh agama Katolik datang ke Rumah Tahanan di wilayah mereka bertugas. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain mendampingi pastor atau prodiakon membagikan komuni bagi warga binaan yang beragama katolik, memimpin doa, mendengarkan kisah kehidupan, mengadakan refleksi iman dan berbincang hangat dengan warga binaan.

Di ruangan khusus kerohanian itu terdengar nyanyian, tawa kecil bahkan air mata yang jatuh dalam diam. Dari rutinitas yang teratur itu muncul ketenangan batin yang merupakan paradoks yang dialami oleh warga binaan, karena di tempat yang semestinya membuat mereka terkekang, justru mereka merasa aman dan damai.

Seorang warga binaan pernah berkata pelan, “Di sini saya merasa damai, bisa istirahat dari hiruk pikuk dunia luar.” Kalimat itu seakan menunjukkan bahwa penjara menjadi ruang perlindungan yang aman bagi warga binaan dari kerasnya kehidupan sosial. Namun kenyataan itu berubah tajam ketika pintu jeruji terbuka dan kebebasan mereka dapatkan. Dunia luar yang mereka rindukan seringkali menjadi ruang yang asing. Tak ada sambutan hangat, tak semua keluarga menerima dan masyarakat kerap memandang dengan curiga. Di luar penjara mereka mendapati penjara lain yaitu penjara sosial berupa stigma, pengucilan dan kehilangan tempat di tengah masyarakat.

Fenomena ini menunjukkan bahwa penderitaan manusia tidak hanya bersumber dari kesalahan individu, tetapi juga dari cara masyarakat memaknai dan memperlakukan mereka. Dalam kacamata psikologi kritis, persoalan pasca penjara bukanlah sekedar masalah pribadi, melainkan hasil dari struktur sosial dan wacana kekuasaan yang melebeli, menstigma dan menyingkirkan. Oleh karena itu, pemulihan sejati dapat terwujud bila masyarakat juga bertrasformasi membuka ruang pengakuan, kasih dan solidaritas.

Cinta Kemanusiaan dan Layanan Berdampak

Nilai-nilai kemanusiaan menjadi inti dari Asta Protas yang dicanangkan Kementerian Agama. Pada butir pertama, Kerukunan dan Cinta Kemanusiaan, menegaskan panggilan untuk membangun kehidupan sosial yang damai, adil dan menghormati setiap manusia tanpa memandag nilai masa lalunya. Sementara pada butir ketiga, Layanan Keagamaan yang Berdampak, mengingatkan bahwa pelayanan iman tidak boleh berhenti pada ranah ritual, tetapi harus menyentuh kehidupan nyata, menghadirkan perubahan dan pemulihan sosial.

Di sinilah peran Penyuluh Agama Katolik menjadi nyata. Mereka hadir di rumah tahanan bukan hanya membawa pesan moral, melainkan menghidupi semangat Asta Protas dalam tindakan menumbuhkan cinta yang memulihkan, menghadirkan harapan di tengah luka sosial dan membangun kembali keyakinan bahwa setiap orang tetap layak untuk dicintai. Di tangan para Penyuluh Agama Katolik, wajah Kementerian Agama tampil bukan sebagai simbol kekuasaan tetapi sebagai sahabat yang berjalan bersama dalam sunyi dan pergulatan hidup para warga binaan.

Wajah Kemenag di Ruang Pemulihan Sosial

Peran penyuluh agama di lembaga pemasyarakatan jauh melampaui fungsi seremonial. Mereka tidak sekedar hadir untuk memimpin doa, tetapi membangun relasi kemanusiaan yang memulihkan. Dalam setiap pertemuan, penyuluh agama mendengarkan kisah hidup warga binaan, menumbuhkan refleksi iman dan meneguhkan kesadaran bahwa kesalahan masa lalu tidak menghapus martabat seseorang.

Kegiatan kepenyuluhan berjalan terencana selain di dalam rumah tahanan mereka juga melaksanakan kunjungan pasca bebas untuk memastikan mereka tetap memiliki arah dan sukungan sosial. Dalam beberapa kasus, penyuluh juga berperan menghubungkan mantan warga binaan dengan paroki, lembaga sosial atau lapangan kerja yang membuka kesempatan.

Pendekatan ini sejalan dengan gagasan Michael Foucault (1977) yang melihat penjara bukan semata tempat hukuman, tetapi merupakan mekanisme sosial yang menata perilaku dan mengontrol tubuh manusia. Howard Becker (1963) menambahkan bahwa penyimpangan bukanlah sifat dari tindakan itu sendiri, melainkan hasil dari reaksi masyarakat terhadap tindakan tersebut. Melalui pemahaman ini, penyuluh agama tidak hanya menjadi pendamping spiritual, tetapi juga agen perubahan sosial yang membongkar struktur stigma dan membangun kesadaran baru bahwa setiap orang memiliki hak untuk pulih.

Dalam kerangka psikologi kritis, tindakan penyuluh dapat dibaca sebagai intervensi emansipatoris. Dia bukan hanya memberi nasehat, tetapi menolong manusia menemukan kembali makna dirinya sebagai subyek yang bebas. Seperti yang diungkap oleh Paulo Freire (1970), kesadaran kritis muncul ketika manusia menyadari dirinya bukan obyek dunia, melainkan subyek yang mampu menafsirkan dan mengubah realitas. Di sinilah pendampingan rohani menjadi ruang pembebasan batin ketika warga binaan belajar memaknai hidup bukan dari rasa bersalah, tetapi dari kesadaran untuk memperbaiki dan menebus kesalahan.

Dari Pendampingan Menuju Transformasi Sosial

Pemulihan pasca penjara tidak berhenti pada individu, tetapi berlanjut pada rekonsiliasi sosial yang lebih luas. Para penyuluh agama memainkan peran penting dalam menjembatani proses tersebut yaitu dengan mendorong masyarakat untuk membuka hati dan menegaskan bahwa kasih dan iman sejati selalu berpihak pada kemanusiaan.

Ketika penyuluh agama mendampingi mereka mencari pekerjaan, menghubungkan dengan komunitas paroki atau sekedar mendengarkan keluh kesah tanpa menghakimi, mereka sesungguhnya sedang melaksanakan misi kementerian Agama yang paling luhur yaitu menghadirkan Kasih Allah yang memulihkan. Dalam tindakan kecil dan tulus itu, wajah Kementerian Agama nyata hadir dalam empati, bekerja dalam sunyi, tetapi berdampak dalam kehidupan masyarakat. Namun, sebagaimana disampaikan dalam psikologi kritis bahwa pemulihan sejati tidak akan lengkap tanpa perubahan kesadaran sosial.

Masalah pasca penjara bukan hanya tentang mereka yang berbuat salah, tetapi juga tentang struktur masyarakat dengan stigma yang tetap berkembang yang membuat luka sosial tidak akan sembuh. Karena itu, tugas penyuluh agama tidak berhenti di balik dinding rumah tahanan, melainkan berlanjut di tengah masyarakat, membuka percakapan, menanamkan kesadaran bahwa setiap orang adalah bagian dari proses penyelamatan bersama.

Kehadiran penyuluh agama menjadi cermin kesadaran kritis dalam praktik nyata. Mereka membantu warga binaan menyadari dirinya sebagai subyek yang mampu berubah, sekaligus menolong masyarakat untuk melihat kembali konstruksi sosial yang membatasi kasih. Melalui proses ini, hubungan antara individu dan lingkungan sosialnya mulai dipulihkan, warga binaan dipersiapkan untuk kembali, masyarakat belajar untuk menerima, dan struktur sosial perlahan bergeser menuju tatanan yang lebih manusiawi.

Di titik inilah, Kerukunan dan Cinta Kemanusiaan serta Layanan Keagamaan yang Berdampak bukan lagi sekadar slogan, melainkan kenyataan yang hidup dalam praktik sosial. Melalui tangan para penyuluh agama, iman menjelma menjadi tindakan yang memanusiakan. Ketika masyarakat berani memandang mereka yang pernah terjatuh sebagai sesama yang sedang bertumbuh, tembok sosial pun runtuh, dan pemulihan sejati bukan hanya mungkin, tetapi sungguh terjadi.

Veronica Pulung Widiyanti (Penyuluh Agama Katolik Kab. Bantul, Mahasiswa Magister Psikologi – Universitas Sanata Dharma Yogyakarta)

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0