Guru: Panggilan Cinta yang Mengalahkan Segalanya

Guru dan peradaban terlahir bagaikan saudara kembar. Dunia mengakui guru selalu sebagai pembentuk jiwa, penanam nilai, dan penuntun arah hidup generasi. Menjadi guru bukanlah pilihan profesi semata, melainkan sebuah panggilan hidup.
Ada pepatah Latin yang inspiratif. Amor vincit omnia; - cinta mengalahkan segalanya. Pesan ini relevan dengan pesan Menteri Agama yang menyebut mulianya profesi seorang guru. Ya benar, guru yang melayani dengan cinta, ia “mengalahkan segalanya”
Pesan ini bagi saya sungguh luas dan dalam. Hanya orang yang memiliki cinta yang besar yang mampu memahami dan melihat betapa luhur panggilan seorang guru. Kalau Descartes berkata Cogito ergo sum — “Aku berpikir maka aku ada,” maka saya berani mengatakan, Amo ergo intelligo — “Aku mencinta maka aku memahami.” Hanya mereka yang sungguh mencintai yang mampu memahami kemuliaan guru.
Guru bukan sekadar profesi, melainkan sebuah modus eksistensi—cara berada yang khas ditengah dunia. Guru adalah panggilan ontologis: cara berada yang khas di tengah dunia, menjadi saksi hidup nilai, moral, dan peradaban.
Di titik inilah pesan Menteri Agama menemukan relevansinya. Beliau sendiri memberi kesaksian: “Saya sendiri adalah seorang guru, bapak saya juga seorang guru SD. Puluhan tahun hidup saya abdikan diri sebagai guru.”
Ini bukan sekadar kata-kata, melainkan testimoni hidup. Bukan bicara “melawan matahari” (adversus solem ne loquitur), tetapi warisan nyata keteladanan. Ada cinta yang besar yang pernah dan sedang beliau hidupi melalui ziarah pelayanan sebagai guru. Dengan kata, beliau mengajar. Dengan teladan, beliau memberi contoh. Dengan cinta, beliau menggerakkan.
Maka, ketika Ia berkata, “Kalau mau cari uang jangan jadi guru, tapi pedagang,” itu bukan sekadar teguran, melainkan sentilan penuh cinta. Bukan membedah teks, tapi menggugah konteks. Seperti kata Socrates, “Hidup yang tidak direfleksikan tidak layak dihidupi.” Kalimat itu mengajak kita semua merefleksikan kembali: apa makna guru sesungguhnya? Hanya dengan refleksi manusia menemukan nilai terdalam.
Kepedulian itu juga nyata dalam kebijakan Menteri Agama. Data Kementerian Agama menunjukan bukti cinta dan komitmen Negara melalui Kementerian Agama dimasa kepemimpinan Menteri Agama Nasaruddin Umar melalui berbagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan guru terlihat adanya kenaikan tunjangan profesi bagi 227.147 guru non-PNS. Kenaikan jumlah peserta PPG hingga 700% di tahun 2025, Pengangkatan 52.000 guru honorer menjadi PPPK dalam tiga tahun terakhir.. Itu semua bukti bahwa Menteri Agama sungguh mencintai para guru.
Ibarat janggut tidak membuat seseorang menjadi filsuf, ijazah tidak membuat seseorang hebat, harta tidak membuat orang masyhur—yang membuat abadi adalah pengabdian, cinta, dan keteladanan. Di situlah seorang guru menemukan makna panggilannya: menjadi garam yang mengasinkan, menjadi terang yang bercahaya di tengah kegelapan.
Iman ku sebagai orang Katolik mengajarkanku, "Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu".( Matius 6:33) atau dalam bahasa lebih sederhana, rezeki itu memang penting, tapi ia selalu akan bertemu orang-orang baik. Guru yang berjuang dengan cinta tidak akan pernah kehilangan rezekinya, karena cinta itu sendiri adalah rezeki yang tak ternilai.
Akhirnya, guru bukanlah sekadar profesi, melainkan panggilan cinta. Cinta itulah yang membuat mereka sanggup mengalahkan keterbatasan, tetap setia mengabdi, dan menjadi terang bagi peradaban.
Pesan Menteri Agama menegaskan: kemuliaan guru tidak diukur dari harta, tetapi dari ketulusan hati, pengabdian, dan keteladanan. Dari tangan guru, masa depan ditulis dengan tinta cinta.
Alfa Edison (Pranata Humas Ahli Muda, Ditjen Bimas Katolik)
Apa Reaksi Anda?






