Guru dan Ulama: Jejak Berkesan Abdul Hamid Hakim

“Guru adalah obor untuk mengusir kegelapan. Guru menjadi lentera hati muridnya. Angkatlah murid kita sampai ke langit.” Kata-kata bijak ini disampaikan Menteri Agama Nasaruddin Umar dalam kesempatan berbicara mengenai pendidikan dan kemuliaan profesi guru. Guru senantiasa diperjuangkan kesejahteraannya dan harus terjaga martabatnya. Guru pahlawan di mata murid-muridnya dan sekaligus pahlawan bagi peradaban umat manusia.
Guru dan ulama dua profesi yang beririsan. Guru terutama guru-guru agama sebagian adalah ulama, sedangkan ulama adalah guru bagi masyarakat yang dibimbingnya. Dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia, ditemukan banyak sekali tokoh inspiratif di berbagai daerah yang mengangkat murid-muridnya sampai ke langit ilmu, salah satunya ialah Abdul Hamid Hakim (1893 – 1959), dikenal dengan gelar penghormatan “Angku Mudo”. dari tanah Minang.
Sejalan dengan spirit penghargaan kepada guru yang disampaikan oleh Menteri Agama, melalui tulisan ini saya mengenalkan kembali salah seorang guru dan ulama besar Indonesia dari Minangkabau, Sumatera Barat, yang namanya cukup melegenda. Abdul Hamid Hakim adalah pendidik sejati yang mengangkat murid-muridnya sampai ke langit ilmu.
Sejarah mencatat Abdul Hamid Hakim adalah figur guru teladan dan ulama besar yang mewariskan jejak berkesan sebagai pejuang pendidik. Perjalanan hidup dan pengabdiannya meninggalkan legacy berharga bagi umat Islam dan bangsa Indonesia.
Dr. Ahmad Musadad, doktor studi Islam dari UIN Sunan Ampel Surabaya dalam tulisannya “Mengenal Ushul Fiqh, Fiqh dan Kaidah Fiqh dalam Kitab Mabadi Awwaliyah Karya Ulama Nusantara” (2022) mengungkapkan, kehidupan intelektual yang dijalani oleh Abdul Hamid Hakim dalam waktu yang panjang, baik sebagai seorang guru, ulama, pemikir, maupun penulis telah membuahkan hasil yang tidak sedikit dan itu merupakan warisan sangat berharga bagi generasi sesudahnya.
Lahir di Sumpur, dekat Padang Panjang, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, tahun 1893 M/1311 H, semasa muda Abdul Hamid Hakim mendalami ilmu agama di Madras School Tanjung Sungayang di bawah asuhan Syekh Muhammad Thaib Umar, murid dari Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Setelah dua tahun belajar di Tanjung Sungayang, melanjutkan pelajarannya kepada Syekh Dr. H. Abdul Karim Amrullah atau populer dengan nama panggilan Haji Rasul di Sungai Batang Maninjau, tahun 1910. Ia mendalami ilmu ushul fiqih. Sewaktu Haji Rasul pindah ke Padang, Abdul Hamid Hakim mengikuti gurunya. Di kota Padang ia juga belajar kepada Syekh Dr. H. Abdullah Ahmad, pendiri Sekolah Adabiah dan PGAI (Persatuan Guru Agama Islam).
Semasa menuntut ilmu kepada Syekh Dr. H. Abdul Karim Amrullah di Maninjau maupun di kota Padang, Abdul Hamid Hakim mempelajari Risalah at-Tauhid karya Syekh Muhammad Abduh dan Tafsir al-Manar yang disusun oleh Mohammad Rasyid Ridha menurut aliran pemikiran modern Syekh Mohammad Abduh di Universitas Al-Azhar Cairo. Pada akhir abad ke-19 hingga permulaan abad ke-20 Tafsir Al-Manar adalah tafsir Al Quran yang dianggap paling modern di dunia Islam.
Kalau pembaca berkunjung ke kota Padang Panjang, Sumatera Barat, di kota berhawa sejuk itu terdapat perguruan tertua dan pondok pesantren yang pada 2025 ini telah berusia 114 tahun. Pondok Pesantren dimaksud ialah Perguruan Thawalib Padang Panjang, di masa sebelum kemerdekaan dikenal dengan nama Thawalib School dan Sumatera Thawalib.
Thawalib didirikan oleh Syekh Dr. H. Abdul Karim Amrullah, ayah dari Buya Hamka. Hubungan historis Abdul Hamid Hakim dengan Thawalib terbentuk karena dia adalah pimpinan pertama dan guru besar Thawalib yang setia mengawal perjalanan lembaga pendidikan Islam legendaris itu sejak muda sampai akhir hayatnya.
Sebagai guru Abdul Hamid Hakim melahirkan murid-murid yang bertebaran di berbagai pelosok dan sebagian menjadi tokoh di tingkat nasional. Tokoh Islam, seperti A.R. Sutan Mansur, Prof. Dr. Hamka, Prof. Zainal Abidin Ahmad, H.M.D. Datuk Palimo Kayo, Prof. A. Hasjmy, K.H. Imam Zarkasyi (Pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor), Mawardi Muhammad, H.S.M. Nasaruddin Latif, H. Oemar Bakry, M. Zein Hassan, Prof. Mukhtar Yahya, Prof. Dr. Amir Syarifuddin, dan sejumlah nama lainnya merupakan murid dan kader Abdul Hamid Hakim. Dua srikandi ulama perempuan dan pahlawan yaitu Rahmah El Yunusiyah dan Hj. Rasuna Said adalah murid Abdul Hamid Hakim di Diniyyah School Padang Panjang.
Hamka dalam “In Memoriam Engku Mudo Abdul Hamid Hakim” yang dihimpun dalam buku Orang-Orang Yang Saya Kenang (Editor Abdul Hadi Hamka, 2024) menggambarkan ketekunan belajar Abdul Hamid Hakim. Menurut Hamka, kesungguhan Abdul Hamid senantiasa dijadikan contoh oleh ayahnya kepada murid-muridnya yang lain. Haji Rasul atau “Inyiak DR” kalau membicarakan orang-orang alim, dengan bersemangat dan mata berapi-api, selalu memuji Abdul Hamid Hakim. Ia menelaah kitab-kitab sampai larut malam hingga tertidur dan lampunya dipadamkan oleh Haji Rasul, dan begitu dia terbangun, dinyalakannya kembali.
Sepanjang hayatnya Abdul Hamid Hakim berkhidmat sebagai guru dan pimpinan Perguruan Thawalib Padang Panjang mulai 1926 sampai akhir hayatnya pada 13 Juli 1959/7 Muharram 1379 H. Ilmu dan cara berpikir yang diajarkannya mempengaruhi kemajuan berpikir murid-muridnya. Semua murid dan anak didiknya meski telah mencapai kedudukan tinggi di masyarakat dan berperan dalam lingkup kenegaraan, mereka bangga dan mengakui Abdul Hamid Hakim adalah guru yang berjasa mengantarkan menjadi orang besar.
Prof. Dr. M. Sanusi Latief, mantan Rektor IAIN/UIN Imam Bonjol Padang, melukiskan figur Abdul Hamid Hakim sebagai guru yang sangat disegani dan dicintai murid-muridnya. Ia disegani karena pengetahuan dan kepribadiannya yang shaleh, berwibawa, rapi, disiplin, banyak senyum sedikit bicara, namun memiliki rasa humor yang sehat, apalagi ketika memberikan pelajaran. Karisma pribadinya yang kuat membantunya dalam berperan menjaga keutuhan dan persatuan di antara rekan-rekan sesama ulama bila suatu ketika timbul perbedaan paham di antara mereka. “Lidahnya asin, kata-katanya didengar dan ditaati,” ungkap M. Sanusi Latief dalam buku Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat (1981).
Selain mengajar di Thawalib, Abdul Hamid Hakim mengajar di Fakultas Hukum dan Falsafah Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat yang berdiri di Padang Panjang tahun 1955 dengan Rektor pertama dr. H. Ali Akbar. Ia juga menjadi dosen dan Wakil Rektor Universitas Darul Hikmah Bukittinggi dengan Rektornya adalah Syekh Ibrahim Musa Parabek yang berdiri sejak tahun 1945.
Sewaktu Mohammad Hatta dan kawan-kawan mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) tanggal 27 Rajab 1364 H/8 Juli 1945 di Jakarta, Abdul Hamid Hakim yang mula-mula disebut namanya untuk menjadi Guru Besar. Hal itu diungkapkan Buya Hamka dalam buku Ayahku. Karena kendala perhubungan waktu itu, beliau tidak dapat datang ke Jakarta untuk menjadi dosen di Sekolah Tinggi Islam. STI merupakan cikal bakal Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang bertransformasi menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan Universitas Islam Negeri (UIN).
Selain menguasai ilmu agama secara mumpuni, Abdul Hamid Hakim menguasai pengetahuan Adat Minangkabau. Ia memberikan pelajaran Adat Minangkabau secara ekstra kurikuler di Thawalib Padang Panjang. Penguasaan masalah agama dan adat istiadat dengan baik akan menghindarkan orang dari mempertentangkan sesuatu yang tidak perlu diperhadapkan, kecuali praktik yang tidak sesuai dengan akidah Islam.
Dalam pengantar buku Mabadi Awwaliyah dan Al-Bayan, Abdul Hamid Hakim mengemukakan kata hikmah dari sastra Arab yang bermakna, “Orang cerdas mampu menemukan pemahaman tentang suatu hal dengan satu contoh saja yang tidak bisa dipahami oleh orang tidak cerdas walaupun dengan seribu contoh.”
Abdul Hamid Hakim adalah guru dan ulama yang setia dengan profesinya dalam arti tidak tertarik dengan jabatan politik. Ketika murid-muridnya meminta agar bersedia dicalonkan oleh partai Masyumi menjadi anggota Parlemen (DPR dan Konstituante), beliau menjawab, “biar orang lain saja”. Ia menegakkan Islam di jalur tafaqquh fid din, memperdalam ilmu agama dan mengajarkannya tanpa mengenal lelah.
Seluruh buku-buku karangannya ditulis dalam bahasa Arab yang baik. Seorang peneliti berkebangsaan Belanda, Martin Van Bruinessen (1990), menilai karya Abdul Hamid Hakim terutama buku fiqihnya Al-Bayan termasuk di antara karya berbahasa Arab yang paling banyak dipakai di pondok pesantren. Van Bruinessen menjelaskan Abdul Hamid Hakim satu dari 100 penulis yang bukunya paling banyak dipakai di pesantren-pesantren di Indonesia.
Dalam buku Al-Mu’inul Mubin, terdiri dari 5 jilid, Abdul Hamid Hakim membahas masalah fiqih, mulai dari masalah ibadah sampai muamalah yang disajikan dengan bahasa dan alur bahasan yang sederhana. Buku Al-Muinul Mubin diberi Kata Pengantar oleh Menteri Agama K.H. Moh. Faqih Usman tertanggal ibukota Indonesia 15 Dzulhijjah 1371 (1951 M). Kata Sambutan Menteri Agama dicantumkan pada bagian awal tiap-tiap jilidnya.
Menteri Agama K.H. Moh. Faqih Usman mengawali sambutannya dengan kalimat sapaan, “Saudaraku yang mulia Abdul Hamid Hakim”. Menteri Agama menyatakan, buku ini istimewa karena disusun sejalan dengan kebutuhan zaman dan tempat, dan karena usul fiqih adalah metode ijtihad yang dapat mengakomodasi persoalan yang berkembang.
Pemikiran fiqih Abdul Hamid Hakim diangkat menjadi topik disertasi Isnawati Rais (terakhir Prof. Dr.) berjudul “Pemikiran Fikih Abdul Hamid Hakim (Suatu Studi Tentang Pengembangan Hukum Islam di Indonesia)” di Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Disertasi tersebut terpilih sebagai salah satu penelitian terbaik sehingga diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama dengan judul Pemikiran Fikih Abdul Hamid Hakim (2005).
Dalam penelitian Isnawati Rais (2005) diungkapkan bahwa Abdul Hamid Hakim merasa prihatin melihat kondisi keberagamaan sebagian besar masyarakat Minangkabau di masa itu yang mempunyai wawasan yang sempit dan sikap tertutup. Fanatik mazhab yang berlebihan, tidak bisa menerima perbedaan dan perubahan sedikit pun, dan kalau datang orang membawa pendapat yang berbeda, maka orang itu akan dianggap sebagai orang yang sesat. Di samping itu ia melihat pula amalan-amalan masyarakat yang tidak sesuai dengan ketentuan agama yang terdapat di dalam Al-Quran dan Sunnah.
Dalam bidang fiqih muamalah, prinsip yang dipedomaninya adalah, “hukum asal segala sesuatu adalah boleh selama tidak ada larangan.” Sejalan dengan itu ia juga mempertimbangkan keadaan dan kebutuhan masyarakat, misalnya dalam masalah perbankan dan sebagainya.
Sejarah mencatat Abdul Hamid Hakim adalah sosok ulama pendidik yang mengisi tempat penting dalam perkembangan pendidikan Islam dan salah satu peletak dasar-dasar pembaharuan fiqih di Indonesia. Ia pahlawan pendidikan yang tekun mengajar di ruang kelas menghadapi murid-muridnya dan berdakwah menegakkan agama di masyarakat.
Di ruang kelas Abdul Hamid Hakim menanamkan kesadaran cinta tanah air dan kepedulian untuk memperjuangan kemerdekaan bangsa dari penjajahan bangsa asing. Suatu hari seorang reserse Belanda di Padang Panjang datang kepada Angku Mudo Abdul Hamid Hakim, mengatakan: “Mengapa banyak murid-murid Angku aktif dalam bidang politik sehingga menambah beratnya tugas kami?”
Abdul Hamid Hakim menjawab dengan tenang bercampur humor. “Saya juga heran, satu saya ajarkan, empat mereka dapat.” Jawaban yang diplomatis membuat reserse tidak berkutik lagi.
Sepanjang pengabdiannya lebih kurang 40 tahun secara terus menerus mengasuh perguruan Thawalib, melahirkan ribuan lulusan yang bergerak di berbagai bidang. Murid-murid Abdul Hamid Hakim tampil menjadi guru, birokrat, ulama, pejuang agama, politisi dan penggerak pembaruan sesuai dengan kapasitas masing-masing.
Guru dan ulama besar Indonesia itu meninggalkan kekayaan kultural bagi umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya. Buku-buku karyanya digunakan sampai ke luar negeri khususnya di kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand dan Filipina Selatan. Pemikiran fiqih yang moderat, fiqih yang mendorong kebebasan berpikir dan menghidupkan semangat ijtihad di kalangan umat sebagaimana diajarkan Abdul Hamid Hakim perlu dipelihara dan dikembangkan menurut zamannya.
M. Fuad Nasar (Direktur Jaminan Produk Halal Kementerian Agama RI)
Apa Reaksi Anda?






