Cinta dan Permohonan Maaf Menteri Agama

Sep 6, 2025 - 07:08
Sep 6, 2025 - 07:08
 0  0
Cinta dan Permohonan Maaf Menteri Agama

Pernyataan Menteri Agama bahwa guru bukanlah tempat untuk mencari uang sempat menimbulkan gelombang reaksi di masyarakat. Sesungguhnya, tidak ada yang keliru dengan kalimat ini. Ungkapan serupa bahkan sudah sering kita dengar: jika ingin mencari kekayaan, jangan menjadi guru, ulama, atau pejabat. Jalan itu bukanlah jalan untuk menumpuk harta. Bila ingin kaya, jadilah pedagang atau pengusaha.

Namun, mekanisme pemaknaan di era post-truth berbeda. Siapa yang mengucapkan apa sering kali menjadi perkara tersendiri. Kata-kata seorang pemimpin dengan cepat tersebar di media sosial, ditafsirkan secara beragam, lalu dibentuk ulang oleh konteks yang diciptakan warganet. Algoritma media sosial kerap membelokkan makna, bahkan menciptakan makna baru yang jauh dari maksud awal pembicara. Itulah yang sedang terjadi.

Strategi meminta maaf secara terbuka di media sosial pun sering kali tidak efektif. Ia hanya mengakumulasi serangan baru. Karena itu, diam terkadang justru menjadi strategi terbaik untuk menenangkan gelombang algoritma yang terlanjur viral

Di tengah arus opini publik yang cepat menggelembung besar, Menteri Agama sebenarnya tidak perlu meminta maaf. Toh Menag tidak menghina siapa-siapa. Namun rupanya Menteri Agama memilih melakukannya. Bagi sebagian orang, tindakan ini bisa dipandang sebagai kelemahan atau tanda “kalah” di hadapan tekanan publik. Tetapi, bagi saya permintaa maaf ini menunjukkan dimensi lain yang menarik dari seorang Menteri Agama.

Dalam tradisi sufisme Islam, permintaan maaf bukanlah pengakuan kalah, melainkan pengakuan cinta. Para sufi selalu menekankan bahwa kebenaran bukan sekadar apa yang keluar dari lisan, melainkan apa yang sampai ke hati orang lain. Bila kebenaran itu disampaikan dengan keras sehingga melukai, maka luka itu bukan hanya milik orang lain, tetapi juga bayangan luka dalam diri kita sendiri.

Meminta maaf berarti mengakui bahwa ada luka yang harus disembuhkan. Ia adalah ikhtiar untuk mengembalikan keseimbangan, sebagaimana air membersihkan debu, atau zikir membersihkan hati.

Sufi besar Jalaluddin Rumi pernah menulis: “Kebenaran itu seperti cermin yang jatuh dari langit, pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut satu kepingan dan mengira dialah yang memegang kebenaran.” Bila kebenaran kita melukai, maka meminta maaf adalah upaya menyatukan kepingan cermin itu kembali, agar cahaya dapat memantul utuh.

Permintaan maaf dengan demikian bukanlah persoalan siapa salah dan siapa benar, melainkan siapa yang lebih dahulu menempuh jalan penyembuhan. Dalam perspektif sufistik, kebenaran yang tidak mengandung kasih sayang hanyalah sebentuk kesombongan. Sedangkan kasih sayang yang diucapkan meski dalam bentuk maaf, justru mendekatkan seseorang pada kebenaran hakiki.

Maaf sebagai Jalan Pemimpin

Di era politik modern, kata “maaf” sering kali dianggap tabu. Pemimpin lebih suka menegakkan gengsi daripada merendahkan hati. Padahal, dalam sejarah para arif, kerendahan hati seorang pemimpin justru menjadi sumber kekuatan moral yang lebih dalam.

Sufi selalu mengajarkan bahwa jalan kepemimpinan sejati adalah jalan pengosongan diri. Tidak ada ego yang ditegakkan, tidak ada gengsi yang dijaga, kecuali keikhlasan untuk melayani. Karena itu, ketika seorang Menteri Agama meminta maaf, ia sedang meneladankan nilai kepemimpinan yang bersumber dari tradisi spiritual Islam sendiri: kepemimpinan yang merawat hati.

Rumi menulis: “Luka adalah tempat cahaya masuk ke dalam dirimu.” Mungkin kata-kata Menteri Agama telah melukai sebagian hati, tetapi permintaan maafnya adalah cahaya yang masuk. Cahaya yang mengingatkan bahwa seorang pemimpin tidak hanya berbicara kepada logika publik, tetapi juga kepada hati masyarakat.

Menjadikan Maaf sebagai Budaya

Kita hidup di era yang penuh dengan polarisasi, di mana perbedaan kata bisa menjadi bara perpecahan. Media sosial memperbesar luka, membelokkan makna, dan sering menciptakan makna baru yang jauh dari maksud awal pembicara. Dalam situasi seperti ini, maaf bisa menjadi jembatan yang menyatukan.

Budaya meminta maaf, jika ditumbuhkan, akan melunakkan relasi sosial kita. Ia akan menumbuhkan kerendahan hati kolektif. Ia akan mengingatkan bahwa kebenaran bukan untuk mengalahkan, melainkan untuk menerangi.

Permintaan maaf Menteri Agama karenanya bukan hanya peristiwa pribadi, melainkan teladan. Ia mengajarkan bahwa bahkan di tingkat tertinggi kepemimpinan, kata “maaf” tetap memiliki tempat. Bahwa maaf tidak mengecilkan wibawa, justru memperkuatnya. Bahwa maaf bukan tanda salah, melainkan tanda cinta.

Meminta maaf bukan sekadar tindakan politis, melainkan laku spiritual. Ia adalah bagian dari jalan panjang menuju kejernihan. Dan mungkin, justru di situlah letak kemuliaan seorang pemimpin: bukan pada kekerasan kata-kata, tetapi pada kelembutan hati yang berani mengucapkan “maaf.”

Dr. H. Saprillah M.Si (Kepala Balai Litbang Agama Makassar)

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0