ASN dan Meritokrasi: Membumikan Sumpah Pemuda di Era Digital
Peringatan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober selalu menjadi momentum sakral untuk meneguhkan janji persatuan. Tahun ini, janji tersebut terdengar kuat dalam amanat Wakil Menteri Agama (Wamenag) RI pada upacara peringatan Hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 2025. Wamenag menyampaikan pesan yang menohok nurani: "Dengan semangat persatuan kita membangun Indonesia. Kita hadir di Kementerian Agama untuk bangsa dan negara."
ASN Kemenag memiliki tugas konstitusional yang unik: menjadi perekat bangsa di tengah pusaran keragaman agama. Tugas ini menuntut ASN untuk menanggalkan identitas kelompok demi loyalitas total pada bangsa. Sebab, ancaman terbesar terhadap butir "Satu Bangsa" adalah oligarki primordialisme birokrasi: sebuah sistem yang menempatkan loyalitas primordial, baik itu sekat agama, suku, atau afiliasi, di atas kompetensi. Primordialisme, yang seharusnya menjadi energi positif untuk regenerasi, berubah menjadi racun saat dijadikan instrumen seleksi dan penyingkiran.
Dampak dari praktik ini sangat merusak, berpotensi menghancurkan ekspektasi luhur rakyat terhadap pemerintah. Mereka yang bukan bagian dari kelompok dominan kerap dihadapkan pada situasi tidak adil, di mana mereka sengaja di-framing seolah-olah tidak profesional. Bahkan, ada yang sengaja diganggu agar tidak berhasil, atau dibiarkan bergerak sendiri padahal secara struktural wajib dibantu. Perlakuan ini merupakan bentuk korupsi non-moneter yang secara fundamental melanggar janji persatuan, yang merupakan inti dari semangat Sumpah Pemuda.
Amanat Wakil Menteri Agama yang menegaskan bahwa "rakyat menganugerahkan suasana kehidupan umat beragama bagi kita Kementerian Agama" dan melihat insan Kemenag sebagai "contoh kehidupan umat beragama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara" merupakan bukti betapa luar biasanya ekspektasi publik terhadap seluruh ASN Kemenag. Kepercayaan yang dianugerahkan rakyat ini adalah kehormatan sekaligus utang moral yang wajib dibayar dengan kinerja terbaik. ASN Kemenag harus sadar bahwa integritas sejati adalah menempatkan kepentingan meritokrasi dan persatuan di atas loyalitas primordial, sehingga ekspektasi tinggi rakyat dapat terbalas dengan pelayanan yang adil dan inklusif.
Ikrar Sumpah Pemuda di Era Digital
Sumpah Pemuda, yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928, adalah cetak biru persatuan nasional. Butir-butir historisnya, yakni Satu Tanah Air, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa, merupakan respons revolusioner terhadap tantangan generasi muda saat itu, yaitu kolonialisme dan upaya masif pemecahbelahan melalui politik devide et impera. Pemuda 1928 bertaruh nyawa untuk menanggalkan sekat suku dan kedaerahan demi mewujudkan Indonesia.
Namun, semangat persatuan tersebut kini dihadapkan pada medan pertempuran yang sama sekali berbeda. Generasi muda hari ini tidak lagi melawan penjajah fisik, melainkan menghadapi tantangan era digital yang jauh lebih halus dan destruktif. Saat ini, generasi muda dihadapkan pada disrupsi masif yang menuntut kecepatan adaptasi, ancaman nalar publik melalui penyebaran hoaks dan disinformasi yang memicu konflik SARA, kekerasan verbal seperti cyberbullying yang merusak etika sosial, serta krisis identitas akibat serbuan budaya asing di jagat maya, yang secara perlahan mengaburkan makna ke-Indonesia-an.
Lantas, bagaimana pemuda masa kini dapat mengimplementasikan Tri Sumpah Pemuda (Tiga Ikrar) tersebut di tengah riuhnya media sosial?
1. Satu Tanah Air: Menjaga Kedaulatan Digital Indonesia
Jika "Satu Tanah Air" dimaknai sebagai komitmen terhadap wilayah geografis, maka di era digital, wilayah kedaulatan kita telah meluas mencakup ruang siber dan data. Media sosial dan berbagai platform teknologi yang kita gunakan setiap hari sering kali dikuasai oleh entitas asing. Hal ini membuat data pribadi dan informasi strategis nasional rentan terhadap penyalahgunaan dan manipulasi.
Oleh karena itu, ikrar "Satu Tumpah Darah, Tanah Air Indonesia" di media sosial menuntut tanggung jawab besar. Pemuda wajib menjadi pelopor keamanan digital, mampu mendeteksi phishing, malware, dan berbagai serangan siber yang mengancam infrastruktur digital nasional. Komitmen ini juga berarti mendukung penggunaan produk dan platform nasional yang menjamin keamanan data pribadi warga negara. Selain itu, mengingat hoaks adalah senjata utama dalam perang siber modern, pemuda harus menjadikan tabayyun (konfirmasi) sebagai budaya wajib sebelum menyebarkan konten.
2. Satu Bangsa: Menolak Polarisasi dan Primordialisme Digital
Tujuan utama Sumpah Pemuda adalah menciptakan bangsa yang satu, melampaui segala perbedaan Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA). Ironisnya, media sosial, yang seharusnya menjadi alat pemersatu, kini justru menjadi sarana paling efektif untuk memecah belah. Butir "Satu Bangsa, Bangsa Indonesia" di media sosial menuntut pemuda untuk menolak perpecahan yang didasari oleh sentimen SARA atau pilihan politik.
Ikrar ini mewajibkan kita untuk menolak menyebarluaskan konten yang bersifat provokatif atau diskriminatif, dan secara aktif melaporkannya. Selain itu, pemuda harus mampu mengubah media sosial dari echo chamber (ruang gema) menjadi ruang dialog yang inklusif. Hal ini sejalan dengan nilai Moderasi Beragama, yang menempatkan agama sebagai perekat, bukan pemisah. Intinya, kita harus selalu mengingat bahwa jempol yang mengetik harus lebih lambat dari nalar. Perbedaan pendapat wajib disalurkan secara konstruktif, bukan dengan merundung (cyberbullying) atau menyerang identitas individu.
3. Satu Bahasa: Mempromosikan Bahasa Indonesia di Kancah Global
Butir ketiga adalah yang paling spesifik, dengan tantangan digital berupa dominasi masif bahasa dan budaya asing. Bahasa Indonesia sering dianggap kurang relevan atau kaku (unfashionable) di tengah derasnya arus bahasa gaul dan bahasa Inggris. Mengimplementasikan "Satu Bahasa, Bahasa Indonesia" di era digital berarti mempromosikan penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam konten-konten digital yang bernilai edukasi, inspirasi, dan hiburan yang tinggi.
Selain itu, pemuda harus secara aktif mempromosikannya sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan kreativitas di kancah internasional. Dengan demikian, kita harus menjadikan Bahasa Indonesia sebagai sarana utama untuk memperkenalkan kekayaan budaya dan ideologi bangsa ke seluruh dunia.
Ikrar Baru dan Energi Persatuan
Sumpah Pemuda bukanlah sekadar ritual tahunan, melainkan pedoman abadi bagi setiap generasi penerus. Jika pemuda 1928 berhasil menyatukan pulau-pulau secara geografis, maka pemuda masa kini harus berhasil menyatukan pikiran dan hati di jagat maya. Oleh karena itu, mari kita pastikan bahwa koneksi digital yang kita nikmati tidak berujung pada fragmentasi emosional.
Tugas kita adalah mengubah disrupsi menjadi peluang dan polarisasi menjadi kolaborasi, demi terwujudnya Indonesia Emas yang bersatu, beradab, dan berdaya saing global. Mari kita jadikan persatuan ini sebagai energi, bukan hanya untuk melawan musuh dari luar, tetapi juga untuk mengatasi tantangan terbesar di dalam diri kita: apatisme, perpecahan internal, dan krisis identitas. Pemuda-Pemudi Bergerak, Indonesia Bersatu, Indonesia Maju!
Ade Sugianto (Auditor Madya Inspektorat Jenderal Kementerian Agama)
Apa Reaksi Anda?
Suka
0
Tidak Suka
0
Cinta
0
Lucu
0
Marah
0
Sedih
0
Wow
0

