Maulid Nabi dan Penguatan Persaudaraan

Setiap tahun, umat Islam memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW dengan beragam tradisi. Mulai dari pengajian, pembacaan shalawat, pawai obor, hingga festival budaya, semua itu seakan menjadi bagian tak terpisahkan dari kalender keagamaan kita. Namun di balik kemeriahan tersebut, tersimpan pesan moral dan spiritual yang dalam, yakni tentang persaudaraan.
Di Nusantara, perayaan Maulid kerap berpadu dengan kearifan lokal. Di Jawa, ada Grebeg Maulid dengan gunungan hasil bumi sebagai simbol syukur dan berbagi. Di Madura, masyarakat merayakan Molodhan dengan ritual khas, sementara di Lombok terdapat Maulid Adat yang sarat nilai kebersamaan. Semua ini bukan sekadar pesta budaya, melainkan wujud kecintaan umat kepada Nabi sekaligus sarana mempererat ikatan sosial.
Meski demikian, jika direnungkan lebih jauh, esensi Maulid sejatinya bukan pada kemeriahan lahiriah, melainkan pada penghayatan nilai-nilai yang diajarkan Nabi. Rasulullah hadir membawa risalah kasih sayang, persaudaraan, dan keadilan. Karena itu, Maulid mestinya menjadi momentum untuk meneladani akhlak beliau, bukan sekadar perayaan tahunan.
Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki tanggung jawab moral untuk menampilkan wajah Islam yang damai dan penuh persaudaraan. Sayangnya, perpecahan di tubuh umat Islam masih kerap terjadi. Perbedaan tafsir, mazhab, hingga pilihan politik sering melemahkan ukhuwah, bahkan memicu konflik horizontal.
Persaudaraan Kebangsaan
Persaudaraan sesama Muslim (ukhuwah islamiyah) tidak semestinya terkoyak hanya karena perbedaan. Nabi sendiri menegaskan, perbedaan dalam memahami agama adalah rahmat selama tidak berubah menjadi permusuhan.
M. Quraish Shihab (2007) menjelaskan bahwa ukhuwah, yang sering diterjemahkan sebagai persaudaraan, berasal dari akar kata yang bermakna memperhatikan. Artinya, persaudaraan menuntut adanya kepedulian tulus dari mereka yang merasa bersaudara.
Menghidupkan ukhuwah islamiyah berarti menumbuhkan sikap saling menghormati di antara ormas Islam, pesantren, majelis taklim, dan komunitas dakwah yang beragam. Jika masing-masing sibuk merasa paling benar, semangat persaudaraan justru melemah. Padahal dengan persatuan, umat Islam di Indonesia bisa memberi kontribusi lebih besar dalam memperjuangkan keadilan sosial, meningkatkan mutu pendidikan, serta memberdayakan ekonomi umat.
Lebih luas lagi, ukhuwah wathaniyah yakni persaudaraan dalam bingkai kebangsaan. Indonesia adalah rumah bersama yang berdiri di atas keberagaman etnis, bahasa, budaya, dan agama. Sejarah mencatat, kemerdekaan bangsa ini diraih bukan hanya oleh umat Islam, melainkan lewat gotong royong seluruh elemen bangsa.
Memperkuat persaudaraan sebangsa berarti menumbuhkan kembali empati, menyadari bahwa kebahagiaan tetangga adalah bagian dari kebahagiaan kita, dan kesejahteraan orang lain ikut menentukan stabilitas bersama. Kita boleh berbeda, tetapi jangan saling meniadakan.
Di tengah dunia yang kian terpecah oleh polarisasi, kita perlu kembali pada semangat sederhana, kita saudara sebangsa. Jika ikatan itu dirawat, Indonesia bukan hanya mampu bertahan, tetapi juga tumbuh menjadi bangsa yang lebih dewasa, kuat, dan bermartabat. Sebagai bangsa multikultural, kita dapat bersinergi untuk membangun kehidupan yang sejahtera, rukun, damai, aman, dan saling menghormati (Sujanto, 2007).
Maulid Nabi juga relevan untuk mengingatkan kita bahwa Rasulullah menekankan pentingnya cinta tanah air. Dalam berbagai riwayat diceritakan betapa dalam kecintaan beliau kepada Mekkah, bahkan ketika harus hijrah ke Madinah. Dari semangat itulah KH. Abdul Wahab Chasbullah merumuskan slogan hubbul wathan minal iman, (cinta tanah air adalah bagian dari iman).
Jika Maulid hanya dipahami sebagai ritual, kita akan kehilangan substansinya. Sebaliknya, bila dimaknai sebagai energi untuk memperkuat kebangsaan, ia dapat menjadi perekat yang menjaga persatuan di tengah perbedaan.
Lapisan ukhuwah terakhir yang perlu diteguhkan adalah ukhuwah basyariyah, persaudaraan sesama manusia. Inilah ajaran universal Islam yang kerap terlupakan. Padahal Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal, bukan saling membenci (QS. Al-Hujurat: 13).
Dalam konteks Indonesia, ukhuwah basyariyah penting dihidupkan kembali di tengah realitas sosial yang masih diwarnai intoleransi, diskriminasi, hingga kekerasan atas nama agama. Perayaan Maulid bisa menjadi ruang untuk meneguhkan kesadaran kemanusiaan, bahwa tugas utama kita adalah menjaga martabat sesama, apa pun agamanya.
Spirit Persaudaraan
Peringatan Maulid tidak cukup berhenti pada gema shalawat atau tabligh akbar. Yang utama kita meneladani akhlak Nabi dalam kehidupan sehari-hari, seperti jujur dalam bekerja, adil dalam memimpin, ramah dalam bergaul, dan santun dalam berdialog. Spirit persaudaraan yang diwariskan beliau bisa menjadi fondasi moral menghadapi krisis bangsa.
Maulid juga mestinya menjadi momentum refleksi sosial. Apakah kita sudah peduli pada tetangga yang kesulitan? Apakah kita berlaku adil dalam pekerjaan? Apakah kita berani menempatkan kebenaran di atas kepentingan kelompok? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini jauh lebih penting daripada sekadar merayakan Maulid dengan kemeriahan tanpa perubahan sikap.
Peringatan Maulid Nabi di Indonesia sebaiknya diarahkan pada penguatan tiga lapis ukhuwah, yakni ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah. Dengan meneguhkan ketiga pilar ini, kita dapat menata kehidupan yang lebih harmonis, adil, dan damai.
Spirit persaudaraan inilah yang paling dibutuhkan bangsa saat ini. Di tengah masyarakat yang mudah terprovokasi oleh perbedaan, Maulid Nabi mengingatkan kita untuk menjaga kebersamaan. Teladan Nabi yang penuh kasih sayang sebagai petunjuk moral untuk merawat persatuan Indonesia.
Pada akhirnya, Maulid bukan hanya perayaan kelahiran Nabi, tetapi perayaan nilai-nilai universal yang beliau ajarkan, kasih sayang, persaudaraan, dan persatuan. Jika nilai-nilai itu benar-benar kita hidupkan, Indonesia akan lebih tangguh menghadapi krisis sekaligus memberi teladan kepada dunia bahwa agama adalah sumber kedamaian, bukan sumber konflik.
Moch. Muhaemin (Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang)
Apa Reaksi Anda?






